Oleh : Rizky Sopiyandi
Sinar bulan tumpah seluruhnya di atas wilayah itu. Sejauh luasan kelam mengabur di atas persawahan dan perbukitan kemuning yang kemilau dalam cahaya dari langit. Pokok-pokok jambu air yang merimbun membuat bayangan cahaya bertelau. Pohon-pohon pimping ramping yang berbatasan dengan langit menerima kerlipan bintang dan awan malam yang menciptakan sosok-sosok memanjang.
Ku dengar suara gitar dan irama nyanyian timbul tenggelam dalam deru angin dan cahaya bulan. Kadang-kadang suara gitar meninggi dan nyanyian terangkat ke permukaan bulan, seakan-akan mau mengelus wajah yang jelita. Gitar dan nyanyian menyatu menggetarkan serbuk-serbuk cahaya, lalu memintas kelengangan mendaki ketinggian bintang. Di kesayupan suara itu meraib seperti ditelan bumi.
Wajahnya bergerak ke arah bulan. Kemolekan tampak bercahaya menerima serbuk-serbuk sinar lembut yang turun dari ketinggian. Lalu suara kecapi juga ikut meninggi, seakan ingin menelan bulan. Seakan ingin menelan seluruh kemolekan dengan irama dawai yang merdu.
Aku masih mencari. Siapa dia sang pelantun nada-nada komunal yang menciptakan suatu ketentraman.
Kulangkahkan kaki ke arah suara itu. Getar tak terelakan. Semakin ku dekat, suara itu semakin menghanyutkanku. Dan akhirnya kulihat sosoknya. Takjum hati melihat raga sang jelita yang tak terhindarkan kecantikannya. Dimalam sedingin ini pun tak terasa menyengat kulit. Dia nampak tersenyum. Indah sekali senyumnya. Kutaksir dia masih berusia 20 hingga 22 tahun. Dara itu sudah menghayutkan nalarku dengan alunannya. Namun ku masih ragu menyapanya.
****
sebelumnya, namaku adalah Satria Wilaga. Aku seorang bocah pantai putera seorang nelayan tua yang semasa hidupnya hanya menghabiskan waktu melaut. Maka tak heran rekan-rekan ayahku memanggilnya si “Popeye”. Aku adalah anak satu-satunya dikeluarga Wilaga. Aku seorang yang penyendiri, bahkan ku akui aku adalah seorang yang pemalu. Seorang pengecut untuk melihat dunia luar. Ku habiskan hidupku di pantai sekita rumahku.
****
Sejenak ku hela nafasku. Kulihat lagi dara itu. Tak sengaja kami pun saling memandang. Sekali lagi dia lemparkan senjata indahnya berupa senyuman sebari jemari yang lentik memainkan gitar yang tak lepas dari dekapan tubuh mungilnya. Aku masih ragu. Tak ubah seperti seorang anak kecil yang kebingungan kehilangan ibunya dipusat perbelanjaan.
Menit pun berlalu, aku masih terpaku. Mulutku membisu..
bersambung..
Sinar bulan tumpah seluruhnya di atas wilayah itu. Sejauh luasan kelam mengabur di atas persawahan dan perbukitan kemuning yang kemilau dalam cahaya dari langit. Pokok-pokok jambu air yang merimbun membuat bayangan cahaya bertelau. Pohon-pohon pimping ramping yang berbatasan dengan langit menerima kerlipan bintang dan awan malam yang menciptakan sosok-sosok memanjang.
Ku dengar suara gitar dan irama nyanyian timbul tenggelam dalam deru angin dan cahaya bulan. Kadang-kadang suara gitar meninggi dan nyanyian terangkat ke permukaan bulan, seakan-akan mau mengelus wajah yang jelita. Gitar dan nyanyian menyatu menggetarkan serbuk-serbuk cahaya, lalu memintas kelengangan mendaki ketinggian bintang. Di kesayupan suara itu meraib seperti ditelan bumi.
Wajahnya bergerak ke arah bulan. Kemolekan tampak bercahaya menerima serbuk-serbuk sinar lembut yang turun dari ketinggian. Lalu suara kecapi juga ikut meninggi, seakan ingin menelan bulan. Seakan ingin menelan seluruh kemolekan dengan irama dawai yang merdu.
Aku masih mencari. Siapa dia sang pelantun nada-nada komunal yang menciptakan suatu ketentraman.
Kulangkahkan kaki ke arah suara itu. Getar tak terelakan. Semakin ku dekat, suara itu semakin menghanyutkanku. Dan akhirnya kulihat sosoknya. Takjum hati melihat raga sang jelita yang tak terhindarkan kecantikannya. Dimalam sedingin ini pun tak terasa menyengat kulit. Dia nampak tersenyum. Indah sekali senyumnya. Kutaksir dia masih berusia 20 hingga 22 tahun. Dara itu sudah menghayutkan nalarku dengan alunannya. Namun ku masih ragu menyapanya.
****
sebelumnya, namaku adalah Satria Wilaga. Aku seorang bocah pantai putera seorang nelayan tua yang semasa hidupnya hanya menghabiskan waktu melaut. Maka tak heran rekan-rekan ayahku memanggilnya si “Popeye”. Aku adalah anak satu-satunya dikeluarga Wilaga. Aku seorang yang penyendiri, bahkan ku akui aku adalah seorang yang pemalu. Seorang pengecut untuk melihat dunia luar. Ku habiskan hidupku di pantai sekita rumahku.
****
Sejenak ku hela nafasku. Kulihat lagi dara itu. Tak sengaja kami pun saling memandang. Sekali lagi dia lemparkan senjata indahnya berupa senyuman sebari jemari yang lentik memainkan gitar yang tak lepas dari dekapan tubuh mungilnya. Aku masih ragu. Tak ubah seperti seorang anak kecil yang kebingungan kehilangan ibunya dipusat perbelanjaan.
Menit pun berlalu, aku masih terpaku. Mulutku membisu..
bersambung..