Oleh : Rizky Sopiyandi
Kadang kita merasakan sifat manusiawi kita mendominasi sehingga apapun tantangan terasa seperti tuntutan yang begitu berat. Persepsi menjadi begitu sangat dikedepankan, sehingga sulit melihat, bahkan untuk sekedar menerawang setiap peluang kesuksesan yang sebenarnya sudah menunggu lama untuk kita datangi.
Anda yang dalam kehidupannya selalu dilingkari berbagai tuntutan pekerjaan seperti anda yang bekerja dikantor yang selalu ditantang untuk selalu bekerja sesempurna mungkin dalam kurun waktu yang sudah ditentukan. Anda yang menjadi seorang Jurnalis yang selalu ditantang untuk selalu memberikan data yang valid sehingga dapat dijadikan informasi yang layak disampaikan kepublik. Atau bahkan, anda yang menjadi seorang guru yang ditantang untuk selalu menjadi contoh yang baik terhadap murid-muridnya. Apakah anda akan menanggapinya dengan keluhan atas segala tantangan dan berbagai ekspektasi yang sebenarnya akan menjadikan anda pribadi yang jauh lebih kuat, mempunyai kualitas dan berkarakter?
Ekspektasi; Bukan Tuntutan, itu Tantangan
Mari kita kaji makhluk Tuhan dalam jenis hewan yang sering kita nafikkan fungsinya. Kuda, ya kuda. Hewan berkaki 4 yang sering kita pandang rendah eksistensinya, namun ternyata Tuhan menempatkannya pada suatu posisi diatas strandarisasi hewan pada umumnya.
Sebuah rahasia umum jika manusia adalah masterpiece Tuhan, tapi ternyata Allah telah menghimbau kita (manusia) untuk banyak belajar dari karakter seekor kuda. Dan diabadikan dalam surat Al-Aadiyaat (kuda perang yang berlari kencang). Dalam buku ‘Dan Tuhan Pun Bersumpah’, dijelaskan bahwa terdapat 30 makhluk Allah yang difungsikan sebagai Qasamullah (janji/sumpah Allah). Yang menjadi pertanyaan, mengapa Allah dengan segala Dzat Ke-Maha-anNya sampai-sampai bersumpah atas makhluk-makhlukNya. Jika kita tela’ah, tak lain, adalah adanya suatu pesan dalam setiap makhluknya untuk bisa dipelajari oleh manusia. Mengapa manusia? Karena potensi akal manusialah yang akan mampu menerima setiap pesan tersebut.
Dalam seekor kuda kita bisa melihat bagaimana karakter kuda yang pekerja keras (Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah, 100:1), yang tak pernah melihat tantangan beratnya menaiki gunung, beratnya berlari dalam timbunan lumpur, atau bahkan berlari ditengah genangan air sungai yang deras.
Ia (kuda) tak pernah melihat segala tantangan sebagai tuntutan baginya, ya penulis tekankan sekali lagi, “ia (kuda) tak pernah melihat segala tantangan sebagai tuntutan baginya”. Tak pernah ia mengeluh atau bahkan sampai menyerah sebelum ia melakukan pekerjaannya. Dalam suatu pekerjaan, ia difungsikan sebagaio mesian utama kendaraan andong atau kereta kuda, dan apakah pembaca pernah melihat kuda yang ‘dipecut’ oleh kusirnya malah menolehkan wajah kepada si kusir dan mengeluhkan apa yang telah diperbuat si kusir? Tidak, tentu tidak. Si kuda akan menambah kekuatan dan kecepatannya dalam berlari ketika pecutan si kusir semakin menjadi.
Maka itulah pesan yang sebenarnya ingin Allah sampaikan dengan media makhluk berkaki empatNya itu. Pesan bahwa kita harus melihat berbagai tuntutan dan ekspektasi sebagai suplemen untuk melakukan hal yang lebih-baik dan lebih baik lagi, bukan menjadikannya sebagai suatu alasan untuk kita mengucapkan kata “saya menyerah”.
Melihat Segala Tantangan Dalam Paradigma Analitik
Seorang wanita tua menangis. Nasrudin bertanya, “Di hari cerah ini, apa yang membuatmu menangis?” Wanita itu menjawab, “saya punya dua orang anak, yang satu berjualan es dan satu lagi berdagang bajigur; pada saat hari cerah ini saya selalu menangis karena terkenang pada anakku yang berjualan bajigur, pasti tidak laku. Demikianpun jika hari hujan, tentu saja anakku yang berdagang es akan basi”. Nasrudin mengangguk-angguk, “Itu masalahmu. Kenapa ibu tidak menanggapinya dengan cara lain? Jika hujan turun pikirkan anak yang berdagang bajigur, jika hari panas pikirkan anak yang berdagang es. Itu akan membuatmu selalu bergembira”.
Nasrudin mencoba menerapkan pemilahan masalah, suatu analisis sederhana mengenai keruwetan ibu tua. Dengan cara dipilah-pilah, kesedihan bisa terselesaikan. Berpikir analisis secara harfiah bisa berarti memilah-milah suatu hal agar tidak tercampur dengan soal yang bukan masalah. Logika analitik mengajak kita menemukan kebenaran suatu hal apa adanya. Yang benar bagi logika analitik adalah yang murni tidak tercampur dengan apapun; serta pasti berbeda (non-kontradiktif) dengan yang lainnya. Hitam adalah hitam, dan tidak mungkin tercampur putih; hitam adalah bukan putih: itulah kebenaran analitik. Logika analitik mencoba menerangkan segala sesuatu yang tidak mustahil untuk kita ketahui.
Analitik mencoba untuk memahami dunia kehidupan lewat bagian-bagian yang dianggap sebagai inti. Jadi dalam logika analitik ada asumsi dasar bahwa segala sesuatu tampil dalam selubung yang menyembunyikan apa yang sebenarnya; selalu ada tipuan yang menyebabkan kita tak bisa menemukan kebenaran. Maka, untuk menemukan kebenaran kita harus menyingkirkan selubung tersebut.
Memilah-milahkan masalah, sehingga inti dari kebenarannya mampu kita dapatkan. Ketika Allah memerintakan kita untuk manjadi seorang pekerja keras dan pribadi yang berkarakter, maka Allah pun menguji hamba-hambanya dengan segala ujian yang kadang seperti menempatkan kita pada suatu posisi yang kurang nyaman.
Contoh, ketika Allah memerintahkan kita untuk melaksanakan ibadah Shaum di bulam Ramadhan, hakikatnya, Allah sedang berekspektasi kepada hamba-hambanya (orang-orang yang beriman) untuk menjadi seorang yang sabar, kuat, dan peduli terhadap sesama. Namun, kebenaran atas ekpektasi tersebut seringkali dibiaskan dengan gangguan-gangguan syetan, sehingga hamba Tuhan pun menyerah dan menganggap tantangan atas ekpektasi Allah tersebut sebagai sebuah tuntutan yang tak mampu ia lewati.
Saat seekor hewan seperti kuda mampu melihat tantangan dan ekspektasi untuknya melakukan pekerjaan lebih baik dan usaha lebih keras lagi, masihkan anda mengeluhkan segala tantangan dan ekspektasi yang ditujukan kepada anda???