Oleh : Hasanuddin Lukman El-Hakim Zindan *
Dua jam yang lalu saat dia turun, aku sempat mengobrol dengannya, dengan si hujan. Dia tidak menanggalkan jubah dinginnya meskipun dia tahu bahwa aku kedinginan saat dia datang. Dengan kecongkakannya dia berbisik padaku, "Hai, aku datang lagi ". Bisikannya lembut namun tetap beraroma tegas.
Setiap kali datang, dia tidak pernah menanggalkan jubah kebanggaanya. Jubah dinginnya selalu berkelebatan deras saat dia datang dengan sahabat dekatnya, si guntur. Mereka seperti sepasang pemilik rumah yang begitu solid. Rumah mereka adalah hamparan langit gelap tanpa sekat pembatas kuasa.
Entah kenapa, setiap kali si hujan datang (dengan keangkuhannya) aku selalu merasa beralih ke dunia lain. Dunia hujan. Aku justru menikmati setiap keangkuhannya. Menikmati setiap waktu bersamanya. Menikmati setiap tetesan demi tetesan dirinya yang dia berikan dengan cuma cuma. Sempat aku berpikir kalau si hujan ini bodoh. Dia selalu memberikan tetesan dirinya dengan cuma cuma tapi tidak pernah meminta agar tetesannya dikembalikan. Itulah kenapa aku juga sering menjulukinya "si congkak bodoh".
Tapi, sedikit demi sedikit aku juga memahami sifatnya ini.
Karena sejatinya, meskipun si hujan sombong dengan keadaannya, dia tidak pernah berharap mendapat balasan apapun dari semua makhluk yang dia beri tetesannya. Dia senantiasa membasahiku, membasahi mereka dengan rasa dingin khasnya itu.
Hujan..
Tetaplah begitu...
*) Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Angkatan 2011.
Dua jam yang lalu saat dia turun, aku sempat mengobrol dengannya, dengan si hujan. Dia tidak menanggalkan jubah dinginnya meskipun dia tahu bahwa aku kedinginan saat dia datang. Dengan kecongkakannya dia berbisik padaku, "Hai, aku datang lagi ". Bisikannya lembut namun tetap beraroma tegas.
Setiap kali datang, dia tidak pernah menanggalkan jubah kebanggaanya. Jubah dinginnya selalu berkelebatan deras saat dia datang dengan sahabat dekatnya, si guntur. Mereka seperti sepasang pemilik rumah yang begitu solid. Rumah mereka adalah hamparan langit gelap tanpa sekat pembatas kuasa.
Entah kenapa, setiap kali si hujan datang (dengan keangkuhannya) aku selalu merasa beralih ke dunia lain. Dunia hujan. Aku justru menikmati setiap keangkuhannya. Menikmati setiap waktu bersamanya. Menikmati setiap tetesan demi tetesan dirinya yang dia berikan dengan cuma cuma. Sempat aku berpikir kalau si hujan ini bodoh. Dia selalu memberikan tetesan dirinya dengan cuma cuma tapi tidak pernah meminta agar tetesannya dikembalikan. Itulah kenapa aku juga sering menjulukinya "si congkak bodoh".
Tapi, sedikit demi sedikit aku juga memahami sifatnya ini.
Karena sejatinya, meskipun si hujan sombong dengan keadaannya, dia tidak pernah berharap mendapat balasan apapun dari semua makhluk yang dia beri tetesannya. Dia senantiasa membasahiku, membasahi mereka dengan rasa dingin khasnya itu.
Hujan..
Tetaplah begitu...
*) Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Angkatan 2011.