Oleh : Hasanuddin Lukman El-Hakim Zindan*
Selalu. Setiap pagi. Setiap Soni bangun dari tidurnya, Dira selalu berdiri di depan jendela kamarnya. Senyum manis gadis itu selalu mengawali harinya.
“Selamat pagi, Soni.” Ucap lembut gadis itu.
Dira melangkah pelan ke arah Soni. Dress putih yang dikenakannya terlihat sangat cocok di tubuhnya, membuatnya terlihat cantik saat berjalan. Dira kemudian duduk di samping Soni yang masih berbaring di atas tempat tidurnya. Sedikitpun matanya tak putus lekat menatap wajah Soni. Dira menundukkan wajahnya diatas wajah Soni. Beberapa helai rambut panjangnya berurai menyentuh pipinya.
“Ayo bangun. Matahari menunggumu untuk menyapanya”.
Soni tersenyum kecil. Dia ingin tetap seperti ini, saat Dira duduk di dekatnya dan mengucapkan selamat pagi padanya. Melihat Dira duduk di sampingnya, ada keinginan kuat Soni untuk menyentuh dan memeluk tubuhnya. Dia tak ingin kehilangan Dira. Tapi saat dia ingin melakukan hal itu tiba tiba tubuh Dira perlahan mengabur. Sedikit demi sedikit tubuhnya menghilang sampai akhirnya benar-benar menghilang. Kemudian Soni tersadar bahwa Dira hanya hadir dalam bentuk bayangan. Ia mendesah pelan. Dira sudah menjadi hantu abadi dalam pikirannya.
Soni beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah ke luar jendela. Matahari belum terlalu jelas menampakkan dirinya, tapi sinar hangatnya terasa jelas meresap ke dalam kulit tubuhnya. Ia menghirup udara segar dari balik pepohonan di samping rumahnya. Beberapa sudah ditebang untuk menghindari resiko tertimpa pohon karena hujan badai. Dari kamarnya yang berada di lantai dua rumahnya, Soni bisa melihat pemandangan kota Bandung pagi itu. Sejak kecil dia selalu ingin melihat pemandangan kota Bandung dari ketinggian.
Jauh sebelum dia memutuskan untuk mengikuti ayahnya, dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk melihat pemandangan kota Bandung, bahkan untuk menginjakkan kakinya di kota ini saja hanya berada di batas keinginannya saja. Dia tidak mampu menolak permintaan ibunya untuk tidak mendatangi kota Bandung. Ibunya takut di kota ini dia akan bertemu ayahnya dan mengajak Soni untuk tinggal bersamanya. Sebagai anak kecil yang baru berusia 5 tahun waktu itu, tak ada pikiran apapun kecuali mengikuti saja apa yang dikatakan ibunya itu.
Seiring berjalannya waktu, Soni mulai memahami arti dari perceraian kedua orang tuanya. Bercerai menjadi jalan terbaik menurut orang tuanya adalah jalan yang salah menurut Soni. Mereka sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan anak-anak mereka sendiri. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar keegoisan mereka bisa terus melebihi ego masing masing agar salah satu dari mereka mau meminta maaf terlebih dahulu. Sungguh keras kepala.
Kebenciannya semakin membuncah ketika suatu hari ibunya memperkenalkan seorang laki-laki paruh baya kepadanya. Hatinya bagai dilumuri racun menyengat dari binatang beracun paling berbisa. Bagaimana mungkin dia bisa menerima kehadiran orang lain disaat dia sendiri membenci keadaan ini. Kebenciannya itulah yang akhirnya mendorongnya untuk mendatangi ayahnya di Bandung. Disamping dia juga sangat menyukai kota ini, ada sedikit harapan terbersit dalam hatinya bahwa mereka bisa bersatu kembali setelah sekian lama. Dan setelah dia mengumpulkan puing-puing kenangannya bersama Dira. Tapi, saat dia membutuhkan Dira untuk berada di sisinya, Tuhan justru berkehendak lain dengan terlebih dahulu menempatkan Dira di dunia yang lain. Dunia yang tidak mampu dijangkau oleh Soni.
“Kang Soni, Ayo Sarapan dulu”. Suara teh Minah dari balik pintu membuyarkan lamunannya. Seperti biasa, Soni hanya mendengar tanpa memberi jawaban. Pembantunya itu pun sudah cukup mengerti dengan tidak memanggilnya kembali. Setelah selesai mandi kemudian Soni menuju ruang makan. Langkahnya pelan seperti dipaksakan. Semenjak Dira tak ada di sisinya, tak sedikitpun nampak rona keceriaan dalam wajahnya. Hidupnya masih diliputi awan hitam pekat yang terus mengekor kemanapun dia pergi. Sari sari kehidupannya seperti telah diserap sedikit demi sedikit. Tubuhnya bergerak tapi hati dan pikirannya terpenjara dalam dunia yang entah dimana berada. Ayahnya pun tidak bisa berbuat apa apa saat Soni hanya mengangguk dan menggeleng setiap kali ditanya. Tak ada satu katapun terucap dari mulutnya.
Setiap kali menatap mata seseorang, Soni selalu melihat berbagai dunia kosong tak berpenghuni. Tak ada keindahan, tak ada tanah dan tak ada udara. Kadang ia melihat sesosok makhluk berjubah hitam sedang menatap melalui mata merahnya yang tajam, sehingga ia merasa ketakutan dan menggigil dibuatnya. Kadang ia juga melihat gemerlap bintang bercampur dengan kerlip warna warni dari balik bola mata orang lain. Begitu banyak dunia yang mampu dilihatnya tapi tak ada satupun yang mampu membuatnya kembali ke masa masa bersama Dira. Tak ada satupun yang mampu membuka gembok mulutnya.
Mulutnya tetap tertutup rapat…
Sembari berjalan menuju kampus, Soni memperhatikan setiap mata orang yang lalu lalang. Mungkin ada sebuah dunia indah yang bisa ia temukan dalam mata mata itu. Mungkin ada satu saja keindahan yang bisa ia lihat. Tapi sepertinya langkahnya hanya ditemani dunia dunia yang sama. Boleh jadi hanya melalui mata Dira dia bisa melihat dunia indah yang berbalut warna warni itu.
Mulutnya hanya bisa menyebut nama itu…
Ia melangkah melewati taman kampus dengan langkah pelan dan tenangnya. Ia tidak memperdulikan mata mata itu memperhatikan dirinya. Soni tidak memperdulikan pikiran mereka tentang dirinya seperti zombie yang berkeliaran dalam kampus. Dalam pandangannya justru mereka yang tidak ubahnya seperti boneka manekin yang berjajar di dalam butik butik. Diam dan bisu.
*) Penulis adalah Mahasiswa KPI semester 1 dan juga penggiat di Forum Penulis Se-KPI
Selalu. Setiap pagi. Setiap Soni bangun dari tidurnya, Dira selalu berdiri di depan jendela kamarnya. Senyum manis gadis itu selalu mengawali harinya.
“Selamat pagi, Soni.” Ucap lembut gadis itu.
Dira melangkah pelan ke arah Soni. Dress putih yang dikenakannya terlihat sangat cocok di tubuhnya, membuatnya terlihat cantik saat berjalan. Dira kemudian duduk di samping Soni yang masih berbaring di atas tempat tidurnya. Sedikitpun matanya tak putus lekat menatap wajah Soni. Dira menundukkan wajahnya diatas wajah Soni. Beberapa helai rambut panjangnya berurai menyentuh pipinya.
“Ayo bangun. Matahari menunggumu untuk menyapanya”.
Soni tersenyum kecil. Dia ingin tetap seperti ini, saat Dira duduk di dekatnya dan mengucapkan selamat pagi padanya. Melihat Dira duduk di sampingnya, ada keinginan kuat Soni untuk menyentuh dan memeluk tubuhnya. Dia tak ingin kehilangan Dira. Tapi saat dia ingin melakukan hal itu tiba tiba tubuh Dira perlahan mengabur. Sedikit demi sedikit tubuhnya menghilang sampai akhirnya benar-benar menghilang. Kemudian Soni tersadar bahwa Dira hanya hadir dalam bentuk bayangan. Ia mendesah pelan. Dira sudah menjadi hantu abadi dalam pikirannya.
Soni beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah ke luar jendela. Matahari belum terlalu jelas menampakkan dirinya, tapi sinar hangatnya terasa jelas meresap ke dalam kulit tubuhnya. Ia menghirup udara segar dari balik pepohonan di samping rumahnya. Beberapa sudah ditebang untuk menghindari resiko tertimpa pohon karena hujan badai. Dari kamarnya yang berada di lantai dua rumahnya, Soni bisa melihat pemandangan kota Bandung pagi itu. Sejak kecil dia selalu ingin melihat pemandangan kota Bandung dari ketinggian.
Jauh sebelum dia memutuskan untuk mengikuti ayahnya, dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk melihat pemandangan kota Bandung, bahkan untuk menginjakkan kakinya di kota ini saja hanya berada di batas keinginannya saja. Dia tidak mampu menolak permintaan ibunya untuk tidak mendatangi kota Bandung. Ibunya takut di kota ini dia akan bertemu ayahnya dan mengajak Soni untuk tinggal bersamanya. Sebagai anak kecil yang baru berusia 5 tahun waktu itu, tak ada pikiran apapun kecuali mengikuti saja apa yang dikatakan ibunya itu.
Seiring berjalannya waktu, Soni mulai memahami arti dari perceraian kedua orang tuanya. Bercerai menjadi jalan terbaik menurut orang tuanya adalah jalan yang salah menurut Soni. Mereka sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan anak-anak mereka sendiri. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar keegoisan mereka bisa terus melebihi ego masing masing agar salah satu dari mereka mau meminta maaf terlebih dahulu. Sungguh keras kepala.
Kebenciannya semakin membuncah ketika suatu hari ibunya memperkenalkan seorang laki-laki paruh baya kepadanya. Hatinya bagai dilumuri racun menyengat dari binatang beracun paling berbisa. Bagaimana mungkin dia bisa menerima kehadiran orang lain disaat dia sendiri membenci keadaan ini. Kebenciannya itulah yang akhirnya mendorongnya untuk mendatangi ayahnya di Bandung. Disamping dia juga sangat menyukai kota ini, ada sedikit harapan terbersit dalam hatinya bahwa mereka bisa bersatu kembali setelah sekian lama. Dan setelah dia mengumpulkan puing-puing kenangannya bersama Dira. Tapi, saat dia membutuhkan Dira untuk berada di sisinya, Tuhan justru berkehendak lain dengan terlebih dahulu menempatkan Dira di dunia yang lain. Dunia yang tidak mampu dijangkau oleh Soni.
“Kang Soni, Ayo Sarapan dulu”. Suara teh Minah dari balik pintu membuyarkan lamunannya. Seperti biasa, Soni hanya mendengar tanpa memberi jawaban. Pembantunya itu pun sudah cukup mengerti dengan tidak memanggilnya kembali. Setelah selesai mandi kemudian Soni menuju ruang makan. Langkahnya pelan seperti dipaksakan. Semenjak Dira tak ada di sisinya, tak sedikitpun nampak rona keceriaan dalam wajahnya. Hidupnya masih diliputi awan hitam pekat yang terus mengekor kemanapun dia pergi. Sari sari kehidupannya seperti telah diserap sedikit demi sedikit. Tubuhnya bergerak tapi hati dan pikirannya terpenjara dalam dunia yang entah dimana berada. Ayahnya pun tidak bisa berbuat apa apa saat Soni hanya mengangguk dan menggeleng setiap kali ditanya. Tak ada satu katapun terucap dari mulutnya.
Setiap kali menatap mata seseorang, Soni selalu melihat berbagai dunia kosong tak berpenghuni. Tak ada keindahan, tak ada tanah dan tak ada udara. Kadang ia melihat sesosok makhluk berjubah hitam sedang menatap melalui mata merahnya yang tajam, sehingga ia merasa ketakutan dan menggigil dibuatnya. Kadang ia juga melihat gemerlap bintang bercampur dengan kerlip warna warni dari balik bola mata orang lain. Begitu banyak dunia yang mampu dilihatnya tapi tak ada satupun yang mampu membuatnya kembali ke masa masa bersama Dira. Tak ada satupun yang mampu membuka gembok mulutnya.
Mulutnya tetap tertutup rapat…
Sembari berjalan menuju kampus, Soni memperhatikan setiap mata orang yang lalu lalang. Mungkin ada sebuah dunia indah yang bisa ia temukan dalam mata mata itu. Mungkin ada satu saja keindahan yang bisa ia lihat. Tapi sepertinya langkahnya hanya ditemani dunia dunia yang sama. Boleh jadi hanya melalui mata Dira dia bisa melihat dunia indah yang berbalut warna warni itu.
Mulutnya hanya bisa menyebut nama itu…
Ia melangkah melewati taman kampus dengan langkah pelan dan tenangnya. Ia tidak memperdulikan mata mata itu memperhatikan dirinya. Soni tidak memperdulikan pikiran mereka tentang dirinya seperti zombie yang berkeliaran dalam kampus. Dalam pandangannya justru mereka yang tidak ubahnya seperti boneka manekin yang berjajar di dalam butik butik. Diam dan bisu.
*) Penulis adalah Mahasiswa KPI semester 1 dan juga penggiat di Forum Penulis Se-KPI