Oleh: Nizar Fahmi
Senja selalu nampak indah saat kulihat dari balkon rumah ini, aku menikmatinya dengan seberkas ingatan tentang seorang gadis yang dahulu selalu menganggapku sebagai saudara kandungnya bukan sebagai seorang teman apalagi kekasih. Gadis itu mengingatkanku pada sosok bunda yang punya senyuman manis, keduanya terlihat mirip saat tersenyum.
Senja selalu nampak indah saat kulihat dari balkon rumah ini, aku menikmatinya dengan seberkas ingatan tentang seorang gadis yang dahulu selalu menganggapku sebagai saudara kandungnya bukan sebagai seorang teman apalagi kekasih. Gadis itu mengingatkanku pada sosok bunda yang punya senyuman manis, keduanya terlihat mirip saat tersenyum.
Gadis itu hanyalah seorang gadis biasa yang hidup sederhana seperti kebanyakan gadis di kota ini, ia memiliki wajah oriental yang manis, bahkan sangat manis menurutku. Bagiku ia adalah gadis yang sangat unik, aku suka segala aspek yang ada dalam hidupnnya.
Aku tak tahu kenapa ia selalu menyebut setiap senja yang ia nikmati bersamaku sebagai Vanilla Twilight (salah satu judul lagu Owl City). Aku tak tahu kenapa ia sangat sering melamun saat bersamaku. Apa yang ia pikirkan saat duduk di sampingku dan apa yang ia pikirkan tentangku saat berada jauh dariku, aku tak tahu. aku hanya hafal dengan matang beberapa kalimat yang sering ia ucapkan saat menghabiskan waktu senjanya bersamaku, ‘Oh betapa panasnya kota ini, oh betapa indahnya awan dan langit yang meneduhi kota ini, betapa tenangnya jiwa ini saat menikmati Vanilla Twilight itu, dan betapa indahnya dunia ini’. Aku ingin ia kembali mengatakan kalimat-kalimat itu sekarang, aku ingin ia mengulanginya lagi dengan halus seperti yang sering ia lakukan di telingaku dahulu, aku ingin masa-masa itu kembali terulang.
Kenangan tentang dirinya mulai lenyap terhapus waktu, sedikit demi sedikit hanyut tersapu arus kehidupan dengan segala problematika yang hadir dalam setiap alunannya dan aku tak mampu menahannya untuk tetap hangat dalam memoriku.
“Visiku padamu 360 derajat, seperti sebuah lingkaran yang berputar dalam porosnya layaknya bumi tempat kita berpijak saat ini. aku mengasihimu sebagai saudaraku dan kau pun mengasihiku sebagai saudarimu begitu seterusnya hingga senja ini takkan pernah kita nikmati bersama lagi suatu hari nanti…”, ujarnya beberapa bulan yang lalu saat kunikmati setiap tetesan air hujan berdua dengannya. Aku tahu setiap hujan turun pasti akan ada cerita yang menghiasi setiap tetesannya.
Tetes air hujan sore itu begitu menyesakkan hatiku, apa yang pernah ia katakan beberapa bulan yang lalu akhirnya menjadi kenyataan. Ia pergi dengan satu alasan yang akan selalu kuingat sepanjang hidupku.
“Kenapa harus pergi? Padahal kota ini telah membesarkan kita berdua”, ujarku saat itu.
“Aku harus pergi, kota ini panas”, satu kalimat yang sudah ia ucapkan beribu-ribu kali di depan wajahku. Aku tahu kalau Bandung ini kota yang panas di siang hari dan dingin saat malam datang juga udaranya penuh polusi seperti beberapa kota besar lain di dunia, namun inilah kota kita, kota tempat kita terlahir dan tumbuh besar, tempat menerima berjuta senyuman dari orang-orang terkasih, tempat menerima bermilyar-milyar do’a dari ayah dan bunda juga kecupan hangat dari keduanya saat kita hendak terlelap melakukan perjalanan menuju pulau mimpi yang indah, pulau yang selalu kita idamkan untuk kembali lagi kesana saat pagi menjemput kita untuk bersekolah, kota dimana kita mendapatkan cemoohan dan kasih dari sahabat-sahabat kita. Inilah kota kita, kota kebanggaan kita, tempat kita bertemu dan berpisah.
Aku harus menjalani hidup ini tanpa ada senyuman dan kalimat yang dimulai dengan kata betapa darimu. Aku harus menikmati senja itu tanpa ada sedikitpun komentar darimu yang selalu menyebutnya sebagai Vanilla Twilight. Namun inilah hidup, aku harus tetap menjalaninya terus hingga hembusan nafas terakhir, karena orang-orang yang datang setelahmu akan menceritakan kisah tentangmu dahulu saat bersamaku, mereka akan berbondong-bondong membeli kisah yang menakjubkan itu, kisah yang menceritakan dirimu sebagai pemeran utama dan aku sebagai pemeran pembantu di dalamnya.
“Aku ingin sekali menulis sepertimu ann”, ujarku padanya suatu senja. Satu kalimat yang membuatmu mengajarkanku bagaimana caranya menulis berbagai kisah yang kita alami bersama, juga satu kalimat yang membuatmu mengajarkan bagaimana menyambung otak dengan jemari. Aku hanya mampu menulis dua lembar saja dalam semalam itupun harus menunggu sebuah ilham yang turun dari langit. Jemariku tidak seperti jemarimu yang dapat menulis berbait-bait pusi indah hanya dalam waktu yang singkat, keajaiban yang tak kumiliki hingga saat ini. Aku sering merasa heran dengan keajaiban yang kamu miliki itu, bahkan sempat tersirat dalam benakku untuk membedah otak dan tanganmu, lalu melihat apakah ada sebuah kabel canggih yang tertanam di sana yang membuatmu begitu hebat dalam tulis menulis, tapi, kuurungkan niat burukku itu karena aku menyayangimu seperti saudariku sendiri, kamu bagian dari tubuhku yang tak mungkin kuhancurkan. Bagiku kamulah penulis terhebat yang pernah kujumpai.
Hari ini genap dua bulan sejak kepergianmu sore itu, aku sudah menulis beberapa lembar cerita untukmu. Seperti seorang bocah yang ingin memamerkan sebuah mainan pada temannya, aku pun demikian, andai saja kamu ada di sini, aku pasti sudah menunjukkannya padamu sore ini juga. Kembali muncul dalam ingatanku tentang malam-malam yang selalu kulewati dengan setoran-setoran tulisanku padamu dan aku memaksamu untuk membacanya sebelum kamu tidur, lalu aku pun memaksamu untuk mangatakan “bagus” pada tulisanku itu.
“Ah, itu hanyalah kenangan masalalu denganmu yang membuatku ingin tersenyum menertawakan diriku sendiri. Sekarang aku tak punya seseorang yang dapat kupaksa lagi untuk membaca tulisanku, apalagi untuk memaksanya mengatakan bagus pada setiap kalimatnya”, gumamku. Goresan pena ini terhenti begitu saja, aliran inspirasi yang seksi itu lenyap dicuri oleh pencuri mimpi yang sedang berkeliaran di sekitar Bandung malam ini. Biasanya, selalu ada kamu yang melawannya untukku, tapi kini ia bebas berkeliaran tanpa ada lagi gangguan. Aku yakin jika kamu masih di sini, ia pasti kocar-kacir ketakutan.
“Ryan, ayo ke sini makan bareng sama bunda”, suara bunda membuyarkan lamunanku yang sedang melayang ke langit.
“Iya bunda, Ryan segera turun…”, jawabku seraya menutup buku catatan berwarna biru. Ini waktunya makan bersama keluargaku di ruang makan, biasanya kalau kamu sedang di sini menemaniku mengeja Bahasa Inggris bunda pasti memasak opor ayam kesukaanmu ann dengan taburan bawang yang selalu menjadi musuhku, dan jika bunda benar-benar menaburi opor ayam itu dengan bawang aku tak ingin memakannya. Bunda bahkan selalu nampak senang jika kamu datang, bunda pasti menyunggingkan senyumannya untukmu.
“Semoga malam ini bunda memasak opor ayam kesukaanmu itu, dengan tidak ditaburi bawang tentunya…”. Kulangkahkan kaki ini mantap menuju ruang makan, kulihat di sana sudah ada bunda yang duduk seorang diri. Ayah meninggalkan kami saat aku berumur lima tahun, penyakit jantunglah pembunuhnya. Ketika menginngat bagaimana penyakit itu membunuh ayah, aku ingin memberontak, selalu ingin memberontak melawannya, kukira aku bisa menyelamatkan ayah kala itu, namun bunda dengan kebijaksanaannya dan kamu dengan cinta kasihmu menahanku untuk tidak melawan kehendak Tuhan, lalu kamu berkata halus ditelingaku, “Ini semua suda tertulis untuk ayahmu, yakinlah ia akan tersenyum di sana saat kamu melepasnya dengan hati yang lapang...”.
Penulis adalah mahasiswa KPI UIN SGD Bandung, dan anggota Forum Pe-SK.