Pelataran Rindu Terkoyak Waktu

Pelataran Rindu Terkoyak Waktu


oleh Day Nish*
 Aku mencari wajahmu di antara jutaan manusia berlalu lalang di stasiun. Datang dan pergi silih berganti. Kereta api beranjak melaju ke sebuah kota, seiring kereta lain tiba dari arah berbeda. Aku masih mencari wajahmu. Sesekali membesarkan pupil mata secara seksama pada lalu lalang manusia yang memunggungi stasiun. 

Namun untuk beberapa jam sejak berdiri di samping rel, tak ada siapapun di depanku. Tepatnya, tak ada dirimu di stasiun itu. Meski siang telah berganti senja, aku masih menyalakan harapan yang remuk redam dalam dada. Masihkah kau ingat aku, masihkah tempat ini menyisakan kenangan untukku melabuhkan asa. Lalu aku pun pulang saat hari telah beranjak memasuki malam yang merayap ditemani rembulan. Bersamaan itu, aku hanya ditemani angin malam yang kadang tanpa ampun menghembuskan ekornya hingga aku menggigil memeluk lengan. 

Untuk kesekian kalinya, aku pulang dengan rasa payah menjalari diri. Dalam bis kota, aku beranjak kembali ke rumah untuk merebahkan asa agar hari esok dapat kubangunkan kembali. Kembali ke stasiun, meski asa dalam jiwa telah meredup. Aku bertahan. 

Rintik-rintik gerimis membasahi jendela bis. Titik-titik air di luar kaca membentuk uap yang mengembun di dalamnya. Lalu aku mulai mengukir kerinduan di sana. Perlahan jemari kuajak menggoreskan sebuah nama yang sekian lama tertanam dalam hati. Z-I-D-A-N.  Tanpa terasa, air mataku menganak sungai dan menderas aliri pipi. Kemudian lagi-lagi batinku berontak, “Untuk apa aku menangisimu, untuk apa lagi aku melabuhkan asa pada sesosok manusia sepertimu? Saat aku setia menunggu, kau justru menghilang tanpa kabar. Tak sedikitpun memberikan pesan meskipun bertegur sapa lewat media apapun. Saat dunia disesaki media sosial, justru aku kehilangan kontak. Aku sangat kesepian.” Hatiku menceracau tak tentu arah. Penyesalan datang bertubi-tubi. Lalu, memori masa silam berputar kembali. Seiring laju bus yang kencang lalui jalanan kota yang basah, seperti pipi dan hatiku yang masih dihujani air mata.
***

“Zi, semangat ya kuliahnya, meski aku wisuda duluan, aku akan tetap menunggumu.” Pesan  dariku yang terakhir kau balas saat aku tuntas menjalani skripsi. Sementara itu kau hanya memberiku tanda senyuman melalui emoticon dalam karakter SMS. Aku mengartikannya dengan gembira. Kau akan setia dengan penantian ini dan segera mendatangi orangtuaku untuk melamarku, harapku saat itu. 

Detik-detik menjelang kelulusanku. Saat bersamaan, kau masih mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) untuk beberapa mata kuliah yang belum sempat kau ambil karena IP tak memenuhi syarat. Alasanku untuk tetap menunggu adalah dirimu telah kutaruh dalam palung hati. Hingga segala kekuranganmu yang menurut logikaku tak sebanding dengan segala potensiku, kusingkirkan jauh-jauh. Menggantinya dengan kuntum harapan yang bermekaran seperti bunga yang kupegang saat berfoto denganmu sebagai pendamping wisuda.
Kuputuskan hijrah ke kota lain meniti karir. Sementara, kau masih menyelesaikan studi. Hubungan kita sebatas bertatap antara mata dan ponsel. Sesekali inbox dikunjungi sapaan darimu sejak pagi sampai malam tiba dan menyuruhku untuk merebahkan diri.  Itulah yang kerap kali kita jalani sekian tahun. 

Pesan dalam karakter sms itu nyatanya tak sedikitpun mewakili suasana hati, hanya perasaan ambigu menyelimuti, saat kalimat singkat dan terasa hambar menimbulkan perasaan yang ricuh dengan multitafsir. Bosankah dirimu? Telah hilangkah perasaan itu? Hatiku masih bertanya-tanya saat kalimat singkat yang kudapat. Selalu saja aku yang memulai dialog kata-kata dengan perantara SMS ini. Namun, lagi-lagi maksud hati tersekat berbagai alasan klasik. Pulsa terbatas, sinyal yang timbul tenggelam, ditambah dengan berbagai prasangka saat pesan tanpa balasan. Sungguh, aku seperti seorang pengemis. Mengemis secuil perhatian pada sosok manusia istimewa. Hanya bayanganmu yang kudapat. Berkelebat dalam ingatan sambil mengucapkan selamat tinggal.
“Tunggu aku di stasiun kotamu. Aku akan datang pukul 2.” 
Begitulah pesan terakhir darimu yang kuterima sebelum kita benar-benar hilang kontak.

Jarak ini semakin menyesakkan bagiku. Mungkinkah kau telah berpaling dan menemukan “dermaga” lain untuk melabuhkan perasaanmu. Penantian ini sia-sia saja. Aku tak henti merutuki kebodohan diri.

Aku ingat, saat kita pernah mengunjungi beberapa tempat, melepaskan katarsis hidup bersama-sama. Mencari secercah kesegaran ke arena perbukitan, mendaki gunung bersama, sekedar berjalan-jalan menghirup sisi lain sebuah kota. Sering juga kita makan siang bersama, larut dalam canda tawa. Namun, aku sadar semua itu bukan jaminan atas komitmen hubungan ini. Bagiku, semua itu hanya sebagai euphoria menyesatkan. Kebersamaan yang semu. Kebersamaan yang telah kita lalui tak membekas pada keseriusan hubungan ini. Akan kau bawa kemana hubungan kita? Tiga tahun kau singgah di hatiku, bersamaan itu pula kau menorehkan luka yang sulit kulupakan.
***

“Bukan jaminan, Nak, keseriusan hubungan tergantung lama atau tidaknya hubungan sebelum menikah. Cobalah ingat baik-baik, pernahkah Zidan mengajakmu bicara tentang masa depan? Pernahkah sekali saja ia berkunjung bersama orangtuanya meski sekedar bersilaturahmi?”, sederet pertanyaan Ibu terlontar menampar kebodohanku selama ini. 

Aku terdiam tanpa sepatah kata. Lagi-lagi pelupuk mataku basah setelah dihujani tanda tanya selama ini. Aku merasa tertipu dan menyia-nyiakan waktu.
***

Aku tak pernah tahu lagi kau di mana, entah masih hidup ataukah telah tiada. Entah kau sengaja menghilang dari pandanganku atau telah terjadi sesuatu pada dirimu, hingga tiga tahun berlalu kau hilang tanpa kabar.  Yang jelas segala sikapmu selama ini membuat mentah segala persiapan yang telah matang. Aku tak tega saat Ibu juga telah menaruh kepercayaan padamu, menyiapkan segala pernak-pernik pernikahan untuk masa depan. Ibu telah memiliki grand design bagaimana pola tata ruang pelaminan, parasmanan, kostum pengantin, dan segalanya. Ya, segalanya saat hari bahagia tiba! Bahkan sampai hal yang detail sekalipun. Aku tak kuasa berkata-kata, saat aku ingin berbicara jujur pada Ibu ingin mulai melupakanmu dan meminta maaf atas segala rencananya yang indah tentang masa depanku. Justru pada saat bersamaan, Ibu yang menguatkan hatiku. Menopang tubuh yang berkecamuk oleh perasaan terkhianati. Ibu memberikan secercah harapan.
“Tak peduli siapapun itu, jika ia punya keberanian untuk datang dan tegas mengutarakan niat baiknya. Ibu ridho. Jika sesuai kehendakNya, semua akan diberi jalan”, ujar Ibu sambil menemaniku berbicara dari hati ke hati tentang masa depan.

“Maafkan, Zahra, Bu. Seharusnya Zahra nggak pernah memperkenalkan dia pada Ibu. Rencana Ibu selama ini jadi sia-sia, kan?! Zahra benar-benar tidak mengerti bagaimana sikapnya. Zahra sadar perasaan ini telah digantung keegoisannya. Zahra….”

“Sudahlah, Ra. Tak perlu lagi mengungkit segala hal yang telah berlalu jika itu membuatmu semakin sakit. Jangan lagi dipikirkan. Anggaplah semua itu sebagai pelajaran hidupmu. Pelajaran yang berharga. Harus lebih dekat denganNya, jangan pernah berhenti meminta dan bergantung padaNya. Dia sebaik-baik tempat kau bersandar. Bukan manusia. Bagaimanapun juga ia makhluk lemah yang tak mungkin menjadi sandaran,” panjang lebar Ibu memberikanku harapan. Percikan harapan yang memantik semangat membenani diri untuk belajar dari kesalahan dan merancang rencana baru untuk masa depan.
***

Aku kembali ke stasiun. Tanpa berharap pada yang tidak mungkin. Aku bersama Fahrul berangkat bersama ke kampung halaman. Melangkah bersama seiring harapan yang bersemi dengan suami. Pernikahanku baru berjalan satu tahun, namun semua itu perlahan mengobati luka yang ditorehkan Zidan sekian lama. Kini, ia tak lebih dari orang asing di masa silam. Orang yang ada dalam bingkai hatiku adalah Fahrul. Suamiku satu-satunya. Seseorang yang memendam perasaan sejak kuliah dulu, kemudian datang mencari celah dan mengutarakan keberaniannya untuk melamarku.

Di stasiun kota itu, kami merajut harapan. Kusingkirkn jauh-jauh bayangan masa lalu yang sesekali datang berkelebat tanpa permisi. Di seberang jalan dalam kereta, kulihat seseorang melambaikan tangan dan memanggil-manggilku dengan samar. Apakah ia nyata atau ilusi? Aku tak yakin, sosok itu seperti Zidan. Namun, aku bertekad takkan lagi mengingat orang asing itu barang sedetik pun. Kugenggam tangan suamiku dan bersandar di bahunya, memalingkan wajah dari arah jendela. Beranjak dari pelataran rindu yang terkoyak oleh waktu. 


*) Day Nish. Nama pena dari Wildaini Shalihah, lahir di Bandung, 7 Maret 1992. Blogger dan Penikmat Sastra. Saat ini tengah menuntaskan studi S1 jurusan Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama