Udara panas berbulan-bulan mengeringkan berjenis biji-bijian. Buah randu yang merundu rindu telah menghitam kulitnya, pecah menjadi tiga juring. Bersama tiupan angin terburai gumpalan-gumpalan kapuk. Setiap gumpal kapuk mengandung biji masak yang siap tumbuh pada tempat ia hinggap di bumi. Demikian kearifan alam mengatur agar pohon randu baru tidak tumbuh berdekatan dengan biangnya. Ah.. alangkah indahnya.
Indah? Tentu saja. Seperti sepasang burung Gagak melayang meniti angin berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluh. Tapi tentu saja itu bukan seperti rengek bayi meminta asi. Ia mungkin tak terlihat merangsang untuk peduli, sekilas benar biasa, namun hitam yang melayang dilangit adalah kontras untuk dibohongi.
Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya. Dia terbang bagai batu lepas dari katapel sambil menjerit sejadi-jadinya. Di belakangnya, seekor alap-alap mengejar dengan kecepatan berlebih. Udara yang ditempuh kedua binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu terdengar ketika paruh alap-alap menggigit kepalanya. Bulu-bulu halus beterbangan. Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, masih tepat diarah duniaku.
Kawan.. angin tenggara bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di tebing tanpa dosa yang sempit itu bergoyang. Daun kuning serta ranting kering jatuh, sedikit berisik. Gemersik rumpun bambu. Berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian sawah yang berisi tanah pecah. Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik. Kicau beranjangan mendaulat kelengangan langit.
Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka. Ketika angin tenggara bertiup dingin menyapu harum bunga kopi yang nampak aneh untuk mekar dimusim semi. Ketika sinar matahari mulai meredup di langit barat. Gagak tertawa terkikik, menari dan bertembang. Gendang, gong dan calung mulut seakan mengiringi puasnya ia melihat mayat si pipit. Hendak menurun dari tingginya ia terbang, mendekat dan bersila didepan mayat burung kecil itu. Menepak-nepak lutut menirukan gaya seorang penggendang. Si Gagak mengayunkan tangan ke kiri-kanan, seakan ada perangkat calung di hadapannya.
HAHAHA... tawanya lepas. Si Gagak yang galak tertawa hampir terbahak.
"Indahmu benar menyilaukan manusia, tapi bagi bangsamu, engkau hanyalah mangsa". Si Gagak terbengkalak berkata sedikit teriak kepada mayat dengan kepala tersayat.
"Apalah arti cantikmu jika kau hanyalah mangsa bagi sekawanmu. Apalah arti kemasan jika hanya menjadi alasan kenikmatan tanpa janji untuk bertahan". Lanjut si Gagak yang seakan berorasi didepan mayat kecil itu.
"Kau mengingatkanku pada bangsa manusia yang menyibukan diri mereka dengan keindahan pada tubuhnya. Berkilah dengan mengaku menikmati dan mensyukuri pemberian Tuhan mereka, tapi tak siap untuk menggunakan itu sebagai karunia untuk senantiasa mempertahankan hidupnya di dunia. Ya, melihatmu... melihat mayatmu... melihatmu dengan darah yang tak ujung berakhir mengalir dari kepalamu, aku sontak mengingat mereka". Ucap Si Gagak yang berbalik tawa jadi tangis yang tersedu.
"Indah bentukmu bukanlah satu-satunya, tapi kemampuan untuk bertahan dalam siklus tertinggi adalah hal yang penting untuk selalu hidup di dunia yang tak berbelas kasih ini. Sadarilah.. ini realitanya". Tutup si Gagak.
Ia pun pergi dari mayat yang mulai membusuk itu. Terbang membelah langit, mengepak sayanya sekali, gagahnya gagak menculak angkasa didunia penggandrung realita.
Kategori:
Cerpen