Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Menulis apa yang didengar, dilihat, dirasakan, dan dikerjakan, kemudian mengembil ibroh, ilmu, serta hikmah dari semuanya itu, demikianlah yang saya lakukan belakangan ini. ada orang yang mampu mengucapkan namun dia tak tahu bagaimana menuliskannya. Ada orang yang hanya bisa mengungkapkan lewat tulisan, tapi sulit melafalkannya dalam bahasa lisan. Dan saya termasuk manusia jenis kedua. Hanya saja saya bukanlah seorang professional dalam bidang menulis, tak punya karya sebuah buku seperti para penulis lain, tak ada yang menggajih atau pun member sedikitnya tambahan rokok ketika saya menulis. Saya hanyalah tukang curat-coret amatiran belaka, tidak professional, tidak mendalam bahasannya, bahasanya tidak ilmiah, sering semeraut gaya penulisannya, dan tidak menyentuh uraiannya, tapi biarkanlah saya menulis.
Dikala waktu senggang dan santai, kini saya isi dengan kegiatan menulis. Bagi saya menulis adalah menamai. Menundukan gejala yang liar menjadi terkendali di atas kertas. Gejala yang diluar begitu liar, tak menentu dan asing, melalui kegiatan menulis semua gejala itu saya susun ulang dalam bentuk terstruktur (itu pun menurut ukuran saya). Ia tak begitu liar karena telah berada dalam kefahaman saya, ia pun tak asing lagi karena telah menjadi bagian dari diri saya. ‘Ilmu itu laksana binatang liar, dan tali yang bisa mengikatnya adalah menulis’ ungkap Sayyidina Ali sepupu Baginda Muhammad. Semangat menulis itu menancap ketika saya membaca Novel One Hundred Solitude. Di Macondo, ketika kebaruan menggerus tradisi, semua orang jadi lupa pada realitas. Mereka diajak terus berlari mengejar kemajuan, akhirnya amnesia. Saat itulah salah seorang dari mereka mencoba mencatati semua nama-nama yang terlupakan, membuat cerita segala sesuatu, menyusun silsilah, dan menamai yang benar-benar terlupa. Melalui cara ini tradisi di Macondo kembali berderak. Semangat menulis itu semakin menggebu ketika tahu bahwa Maulana Jalaluddin Rumi dalam menemukan keajaiban spiritualitas dirinya serta mencapai pada kesadaran ilahiat itu melalui menulis. Rumi selalu menuliskan semua pikirannya, seliar apa pun dan dari mana pun. Ia mengenali dirinya melalui penulisan seluruh gagasannya. Lalu setelah itu ia mengenali kondisi dirinya, dan seraya ia menuliskan apa yang seharusnya dilakukannya bila ingin menyatu dengan Tuhan melalui cinta.
Belajar kepada kehidupan, mengobrool dengan tukang becak di pinggir jalan, menonton film, mendengar radio, memperhatikan curhatan sahabat, membaca pesan dari makhluk Tuhan yang selalu dijumpai, saya salurkan semuanya itu melalui coretan-coretan sederhana. Dengan seringnya menulis, saya tak hendak menjadi seorang penulis, saya menulis karena memang ada hal-hal yang bersifat social yang harus disampaikan. Dan melalui kegiatan menulis ini, secara otomatis saya pun menjadi seorang pembaca. Melalui menulis saya menjadi tahu bahwa begitu kurangnya pengetahuan saya, begitu sempitnya keilmuan saya, dan begitu dangkalnya wawasan saya, hingga saya menyadari betapa pentingnya membaca. Dengan menulis saya mendapatkan pesan: Membacalah.