Sabtu kemarin, saya sedikit terperangah saat melihat seonggok banci muncul di pojokan tempat orang-orang berkumpul. Di alun-alun kota, Ciamis. Meski agak takut, saya kaget bukan karena itu. Saya lebih dikagetkan pada apa yang dia lakukan saat itu. Dia, yang adalah seorang pria, menari bak cacing kepanasan. Saya tak bermaksud menjelekkan, tapi itu kenyataan. Dengan dandanan pula yang melebihi kapasitas seorang wanita biasa, dia tampak percaya diri. Entah apa yang menjadi motivasinya, yang pasti itu masalah ekonomi.
Mengapa ekonomi? Yap. Karena mereka adalah manusia yang terhimpit dalam jeratan kehidupan. Kalaupun perilaku itu disebabkan permasalahan kelainan hormon atau gangguan jiwa, itu bisa saja. Namun, saya kira itu masalah adami. Itu sebuah naturalitas nan alamiah. Saya lebih tertarik untuk mengurainya dari tataran ekonomi.
Oke. Mungkin sedikit bisa dimaklumi lah, kalau jeratan itu berupa kebutuhan pokok. Kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi, urusannya dengan nyawa. Tapi bagaimana urusannya kalau itu masalah kebutuhan tersier. Sebuah permasalahan dengan kemewahan, kebobrokan perilaku yang sudah terjadi pada banyak wilayah di negeri ini. Menjadi banci agar bisa membeli smartphone. Menjadi banci supaya bisa membeli motor. Menjadi banci untuk memenuhi hasrat kemewahan yang dia punya. Tragis juga, bukan?
Sebenarnya, saya tak berniat apa-apa dengan menulis tentang banci. Saya hanya prihatin pada realita di negeri ini. Padahal saya kira, masyarakat sudah kenyang terhadap kemiskinan. Namun entah kenapa, petinggi negeri ini nampak tak bergeming pada realita yang terjadi. Lihat bagaimana seorang pria, mendadak jadi banci hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan banci itu bukan wanita. Banci adalah wanita jadi-jadian. Bagaimana seorang pria ingin berubah wujud menjadi wanita, namun kelebihan sampai encer. Maka pada saat yang demikianlah seorang banci melenggak-lenggok seperti rangkaian tulang lunak, dan berdandan seperti lukisan abstrak.
Kemiskinan di negara ini, sudah sampai pada taraf kamerkaan. Masa dimana proses kekenyangan telah terlewati hingga batas tertinggi, dan meletus. Perut terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk pedang milik Kenji Samurai X dan keris punya Ki Joko Bodo.
Saya anggap pemerintah tahu akan hal ini dengan menekan Pertamina agar menurunkan harga gas elpiji. Dan dorongan itu secara khusus disampaikan pula oleh Pak SBY lewat jejaring Twitter. Terima kasih telah menurunkan harga gas elpiji yang sudah naik Rp. 3500 rupiah hingga turun menjadi Rp. 1000. Malah, saya kemudian terharu saat beliau mengkritik kebijakan Pertamina untuk membela rakyat Indonesia. Lewat akunnya @SBYudhoyono, beliau berkata, “Arahan saya: Jangan sampai meningkatkan inflasi dan membebani rakyat.”
Dan, bukannya tak peduli, urusan kerugian Pertamina sekitar Rp. 7 Trilyun itu masalah mereka. Masalah uang sebanyak itu sepertinya tak layak untuk kami urusi. Kami hanyalah rakyat kecil yang mengurusi uang-uang kecil. Dan uang-uang besar, diurusi oleh rakyat yang juga besar. Bukankah begitu? Saya pikir, banci pun berpikir demikian.
Mengapa ekonomi? Yap. Karena mereka adalah manusia yang terhimpit dalam jeratan kehidupan. Kalaupun perilaku itu disebabkan permasalahan kelainan hormon atau gangguan jiwa, itu bisa saja. Namun, saya kira itu masalah adami. Itu sebuah naturalitas nan alamiah. Saya lebih tertarik untuk mengurainya dari tataran ekonomi.
Oke. Mungkin sedikit bisa dimaklumi lah, kalau jeratan itu berupa kebutuhan pokok. Kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi, urusannya dengan nyawa. Tapi bagaimana urusannya kalau itu masalah kebutuhan tersier. Sebuah permasalahan dengan kemewahan, kebobrokan perilaku yang sudah terjadi pada banyak wilayah di negeri ini. Menjadi banci agar bisa membeli smartphone. Menjadi banci supaya bisa membeli motor. Menjadi banci untuk memenuhi hasrat kemewahan yang dia punya. Tragis juga, bukan?
Sebenarnya, saya tak berniat apa-apa dengan menulis tentang banci. Saya hanya prihatin pada realita di negeri ini. Padahal saya kira, masyarakat sudah kenyang terhadap kemiskinan. Namun entah kenapa, petinggi negeri ini nampak tak bergeming pada realita yang terjadi. Lihat bagaimana seorang pria, mendadak jadi banci hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan banci itu bukan wanita. Banci adalah wanita jadi-jadian. Bagaimana seorang pria ingin berubah wujud menjadi wanita, namun kelebihan sampai encer. Maka pada saat yang demikianlah seorang banci melenggak-lenggok seperti rangkaian tulang lunak, dan berdandan seperti lukisan abstrak.
Kemiskinan di negara ini, sudah sampai pada taraf kamerkaan. Masa dimana proses kekenyangan telah terlewati hingga batas tertinggi, dan meletus. Perut terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk pedang milik Kenji Samurai X dan keris punya Ki Joko Bodo.
Saya anggap pemerintah tahu akan hal ini dengan menekan Pertamina agar menurunkan harga gas elpiji. Dan dorongan itu secara khusus disampaikan pula oleh Pak SBY lewat jejaring Twitter. Terima kasih telah menurunkan harga gas elpiji yang sudah naik Rp. 3500 rupiah hingga turun menjadi Rp. 1000. Malah, saya kemudian terharu saat beliau mengkritik kebijakan Pertamina untuk membela rakyat Indonesia. Lewat akunnya @SBYudhoyono, beliau berkata, “Arahan saya: Jangan sampai meningkatkan inflasi dan membebani rakyat.”
Dan, bukannya tak peduli, urusan kerugian Pertamina sekitar Rp. 7 Trilyun itu masalah mereka. Masalah uang sebanyak itu sepertinya tak layak untuk kami urusi. Kami hanyalah rakyat kecil yang mengurusi uang-uang kecil. Dan uang-uang besar, diurusi oleh rakyat yang juga besar. Bukankah begitu? Saya pikir, banci pun berpikir demikian.