“Inna Diina ‘Indallahil Islam” merupakan satu ayat al-qur’an yang menjadi pegangan umat muslim sebagai dalil dalam dakwah maupun dalam aspek lain dalam kehidupan umat muslim. Dalam artian kasar, ayat tersebut berarti “sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam”. Kita hanya mengerti sebuah ayat, bukan hanya dalam artian kasar kata perkata, kita bergerak sedikit lebih jauh dalam pemahaman terhadap ayat tersebut, untuk tidak hanya sekedar melihat terjemah dan bersandar pada kata belaka, namun berusaha untuk mengetahui sesuatu di balik setiap kata (dalam bahasa Arab adalah kalimat).
Al-qur’an merupakan kitab suci dengan mencakup segala ilmu dan pengetahuan di dalamnya, namun untuk dapat itu, kita mesti mengetahui beberapa hal. Salah satunya kita mesti keluar dari batasan terjemah, sebagai bukti bahwa kita adalah makhluk yang diberi kesempurnaan berupa akal untuk berfikir, tentunya sebelum itu kita mesti meningkatkan pemahaman dengan mencari referensi sebanyak mungkin.
Kata “Din” dalam dalam ayat “Inna Diina ‘Indallahil Islam” merupakan sebuah kata yang di definisikan sebagai berfikir, karena jika kita melihat dan memahami lebih lanjut dalam al-qur’an, hanyalah ada satu kata dalam bentuk Din, yakni mufrod, yang artinya satu atau tunggal. Sedangkan jika kita memahami bahwa kata Din berarti agama, maka dapat dikatakan al-qur’an adalah bohong. Berbanding terbalik dengan kenyataan di dunia yang tumbuh lebih dari satu agama saja, melainkan beberapa agama samawi dan ardhi. Atas dasar itu, kata Din difahami sebagai berfikir.
Semua orang pada hakikatnya telah Din, berfikir dalam suatu hal apapun. Para da’I, filsuf, guru, murid, mahasiswa, wakil rakyat, koruptor, petani, pedagang, cukong, pebisnis, mereka semua pada hakikatnya telah Din dalam artian umum. Jika kita mengacu pada ayat “inna diina ‘indallahil islam”, melahirkan satu pertanyaan untuk lebih spesifik menuju pada objek Din, yakni Dinul Islam.
Kata Islam disini, tidak dipahami sebagai lembaga, karena terlalu frontal kalau kata Islam dipahami sebagai lembaga. Karena hanya orang-orang Islam saja yang mendapatkan nikmat Tuhan (surga), sedangkan mereka yang berfikir dan menjadikan peradaban manusia tercerahkan, tidak akan mendapat nikmat Tuhan sedikitpun di masa kemudian. Seperti Einsten, Thomas Alfa Edison, Leonardo Da Vinci, Ishaac Newton, Socrates, Plato, Aristoteles dan masih banyak lagi orang-orang yang secara kelembagaan, mereka bukan Islam. Sedangkan buah dari pemikiran mereka telah mencerahkan orang-orang di sekitar mereka, bahkan untuk peradaban dunia. Tidak sedikit pula orang-orang Islam yang turut serta menikmati dan memanfaatkan warisan dari produk dari akal mereka sampai saat ini.
Dari sebab itulah, kata Islam bukan hanya dipahami hanya sebatas lembaga, namun kata Islam mesti juga dipahami sebagai kata sifat. Kemudian muncul satu pemahaman baru akan kata Islam, yakni menyelamatkan. Ini masih merupakan hal universal, karena objek dari kata Islam dalam sifat, tidak tertuju kepada siapa dalam batasan, hal ini menyangkut kembali dalam sebuah gerakan dalam sholat, yakni ketika salam. Dalam setiap akhir sholat seseorang ketika salam, menengok ke sebelah kanan dan kemudian kiri telah menjadi sebuah symbol bahwa kita mesti menyelamatkan sesama, setidaknya kita mampu untuk menyelamatkan orang-orang disekitar kita.
Tentu saja ini sinkron dari ayat “Inna Diina ‘Indallahil Islam” dengan salam, kemudian ada satu hal lagi yang pernah dilakukan nabi dalam sebuah symbol ketika Isra Mi’raj. Dimana Isra merupakan sebuah perjalanan nabi dari Masjidil Haram di Mekah ke kota Madinah. Sedangkan Mi’raj merupakan sebuah perjalanan nabi dari kota Madinah ke Sidratul Muntaha. Kedua perjalanan Nabi merupakan sebuah garis yang diantara keduanya berbeda, pertama adalah horizontal dan kemudian vertical.
Garis pertama yang dilakukan nabi adalah garis horizontal, menandakan bahwa selama nabi masih dalam kehidupan di dunia, untuk memaksimalkan hal yang bermanfaat untuk segala makhluk di dunia. Sedangkan garis Vertikal merupakan hal lain yang berbeda konteks, bukan lagi di dunia. Ketika kita masih berada dalam konteks dunia, kita mesti peka terhadap segala sesuatu untuk mencari dan melaksanakan tugas dan fungsi manusia di dunia.
Ternyata antara sebuah dalil, gerakan ketika sholat dan peristiwa isra mi’raj, merupakan suatu hal yang berkaitan dan di dalamnya mengandung makna karena masih berada dalam konteks dunia, bukan akhirat. Setidaknya itu merupakan sebuah pesan dan isyarat bahwa selama kita hidup di dunia, sebisa mungkin kita memberi manfaat bagi sesama makhluk, terlepas dari agama sebagai lembaga. Setidaknya, ini menjadi pemahaman baru bagi kita terkait Dinul Islam.