Oleh Nizar Fahmi
Sebuah ranjang, terbentang di hadapanku. Aku berdiri mematung, hanya menghirup nafas dan menghembuskannya.
Dua tubuh berselimut membentang di hadapanku. Mereka sekali-kali tersenyum sambil sedikit-sedikit menyibakkan selimut yang membungkus tubuh mereka. mata mereka tertuju padaku. Menatap tajam, bahka tanpa berkedip. Tak lama berselang, salah satu yang berambut coklat mendekat.
Jemarinya yang lentik mengelus-elus wajahku. Bibir merah jambunya menciumi leherku, menghembuskan nafasnya yang hangat. Ia bergumam, “kau milikku sekarang. Tak ada yang akan melihat perbuatan ini.”
Aku bergeming. Tubuhnya, sentuhannya, hembusan nafasnya, bahkan tatapannya tak menggangguku. Aku masih bergeming sambil sesekali memandangnya dari sudut mataku. Ia terus bergumam. Kata-katanya sama.
Lalu jemari-jemari lentiknya mulai membuka kemejaku dengan kasar. Sorot matanya membuatnya terlihat kesetanan. Setelah itu, ia membuka celanaku dan bagian dalamnya, sampai aku benar-benar menjadi manusia zaman pertama. Si rambut coklat kemudian memanggil temannya yang masih berselubung selimut. Meminta bantuannya untuk membawaku ke ranjang.
“Bagaimana perasaanmu saat ini, Mila?”, ujar si rambut coklat pada temannya. Saat ini kami benar-benar sudah di atas ranjang.
“Aku amat antusias. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa mendapatkan tubuh ini, Luna.”, kata Mila. Ia menjelajahi lekuk-leuk tubuhku dengan jemarinya. Sesekali ia tertawa kecil saat melihat ekspresiku. Aku, entah apa aku bagi mereka.
Luna si rambut coklat kemudian melingkarkan tangannya di leherku. Ia menciumku. Ia mendesah. Lidahnya bergerak liar dalam mulutku, meminta lebih. Sementara Mila masih menjelajahi tubuhku. Saat ini jemarinya melangkah di bagian bawah tubuhku.
Aku hanya terlentang. Hatiku hancur. Bukan nikmat surga seperti ini yang kuinginkan.
Dua wanita ini membuatku hancur. Mereka meminjamkanku uang untuk kuliah, namun mereka tak ingin aku membayarnya. Mereka hanya menginginkan tubuhku, itu saja. Dan inilah aku, bersama mereka. Berselimut lara.
Mila mengajakku duduk. Ia menarik lenganku. Di wajahnya tersungging senyum aneh. Setelah aku duduk, ia naik ke pangkuanku. Lalu melingkarkan tangannya di leherku dan berguling.
Ia terlentang di bawahku. Tangan kanannya mengelus dadaku pelan, sementara tangan kirinya masih bergelung di leherku. Ia mendekatkan kepalanya.
Kami berciuman. Dalam sekali, tapi aku tak menikmatinya sama sekali. Mengikuti apa yang mereka inginkan, itu saja.
Akhirnya wanita ini menginkan adegan puncak. Ia berbisik di telingaku. Suaranya menggoda.
“lakukanlah. Aku sangat menginginkannya.”, bisiknya.
“jangan lupa, lakukanlah atas nama Tuhan.”, imbuh Luna. Ia duduk di tepi ranjang sambil menghisap rokok.
Dan asap-asap tipis mengepul ke udara dan lenyap tak berbekas.