Oleh: Mochamad Ambang FH.
Laju angin disertai hujan nampak enggan berhenti sore ini. Peluhku memuncak merasakan kedinginan yang menancap dalam di pori-pori kulitku. Beberapa orang kulihat berlari berpayung sambil berseri di trotoar jalan tepat beberapa meter di depan tempat aku sedang berteduh. Berlalu lalang di depanku, terkadang menyeberangi jalan untuk kembali lagi. Dan beberapa kali berputar-putar di jalan yang lengang.
Untung saja, toko ini sudah tutup. Sehingga aku dapat bernaung menghindari badai yang tak berhenti semenjak aku tiba. Perjalananku yang panjang tadi memang membuatku ingin segera merebahkan diri. Tapi hujan, membuatku terpaksa beristirahat sejenak di sini.
Di, sudah sampaikah? Barusan ibu telpon pamanmu, katanya kau belum tiba. – Tanya ibu dalam SMS yang baru saja kubuka.
Aku terjebak hujan, bu. Mungkin jeda beberapa menit lagi, hujan ini reda. Dan aku akan segera menemui paman. – Balasku masih dengan tubuh yang sedang menggigil.
Sebenarnya, aku khawatir dengan barang yang ibu titipkan. Sebuah kotak kardus seukuran celengan masjid yang nampaknya mudah rusak bila terkena air. Dan sekarang, hujan masih enggan berhenti dengan laju kencang anginnya. Oleh karena itu kusimpan kotak ini di belakang tas ranselku. Kuletakkan tepat di sudut toko dimana aku bernaung.
Sepanjang ku menunggu hujan mereda, kegiatan yang dilakukan beberapa orang tadi menjadi tontonanku. Aku heran mengapa masih ada orang yang bermain-main di terpaan cuaca seburuk ini, sedangkan orang lain berusaha untuk berteduh. Lihat saja, selain aku yang sejak tadi bernaung di bawah kanopi toko ini, ada beberapa orang, pun menepi meski mereka nampak sedang melakukan perjalanan dengan sepeda motornya.
Kalau begitu, hati-hati, nak! – Pesan ibu membalas SMS-ku. Sepertinya ibu sedang mengerjakan sesuatu di rumah. Aku harus menunggu beberapa menit hingga kudapatkan balasan SMS darinya. Ibu memang pekerja keras, tapi sayang, aku tak pernah diperbolehkan untuk mengetahui pekerjaan apa yang biasa dilakukannya, selain membuat adonan kue dan menjualnya ke warung-warung. Jika aku bertanya karena hendak ingin membantu, ibu selalu mengelak memberitahukannya. Ibu selalu melakukan pekerjaan itu saat aku sedang tidak ada di rumah.
“Ah nampaknya curah hujan mulai menipis. Aku harus segera bersiap,” ujarku melafalkan niat. Nampaknya perlahan Tuhan mulai menarik derasnya air langit yang turun menghujam bumi ini.
Belum sampai kubereskan barang-barangku, tiba-tiba dua dari beberapa orang tadi, yang aku masih mengingat wajah mereka, menghampiriku.
“Mas, kami melihat mas ini sedang gelisah.” Aku terbingung darimana mereka punya anggapan seperti itu. Padahal dari awal, aku tak melihat mereka menoleh bahkan melirikku. “Barangkali mas butuh kehangatan, mari ikut menari bersama kami! Karena hidup bukanlah menunggu badai berlalu, melainkan bagaimana menari dalam hujan.”
Lepas turun dari bus tadi, tak pernah sedikitpun terpikirkan untuk berbasah-basahan, apalagi menari. Jadi, ajakan kedua orang itu kutolak saja. Aku menggelengkan kepala seraya memberitahu mereka bahwa aku tak tertarik.
Mengetahui jawaban itu, mereka kembali bermain-main dengan teman-temannya yang lain, yang kini sedang berlari-lari di seberang jalan. Lalu ketika aku berdiri dan kugendong tas, kulihat orang-orang itu mengakhiri permainannya dan memasuki gang kecil. Sebuah jalan yang kelihatannya hanya cukup untuk dua orang berjalan bersamaan, itu pun berdempetan.
“Di, ternyata kau di sana!”
Aku mendengar teriak seseorang dari kejauhan. Sontak ku menoleh ke arah suara itu berasal. Kufokuskan pandanganku, ternyata itu paman, ia datang dari arah selatan dimana aku sedang berteduh. Dan kumisnya yang tebal menjadi khas pamanku, Paman Karya, Karyadi Primoharjo, yang meski membuatku selalu ingin tertawa melihatnya.
“Di Sathya Khatulistiwa, kau sudah cukup besar pula, ya? Aku tidak ingat kapan kita terakhir bertemu,” ujar Paman Karya setibanya di hadapanku. Ia memulai kehangatan dengan pertanyaan yang aneh.
“Paman ini bagaimana, baru saja sebulan yang lalu aku mengunjungi paman. Masa hari ini sudah lupa?” Pamanku selalu begitu. Aku pikir ia tidak benar-benar lupa, ia hanya ingin mencari sensasi saja dalam dingin ini. Bayangkan saja, ia hanya baru menginjak kepala lima, mana mungkin sudah pikun.
“Dasar keponakanku yang tak punya selera humor. Paman hanya bercanda kau anggap serius,” ujarnya diselingi tawa lebar.
Aku tak menanggapi pernyataan Paman Karya yang tak penting itu. Lantas aku terpikirkan orang-orang yang selama hujan mengguyur tadi, mereka malah bermain-main. Lalu kutanya pamanku untuk melepas rasa penasaran ini. Tentang siapa mereka dan tentang apa yang dilakukannya.
“Paman tidak tahu tentang hal itu, paman baru saja dengar kabar tersebut dari Di.” Paman Karya terkesan menyembunyikan sesuatu. Mana mungkin ia tidak tahu kondisi masyarakat di sini, sedangkan ia adalah Ketua RW.
“Kalau gang itu, apakah paman tahu?” Aku bertanya lagi seraya mengarahkan telunjukku pada gang yang dimasuki orang-orang tadi.
“Gang tersebut bernama Gang Sukatma. Tapi paman belum pernah ke sana.”
“Begitu, ya.. Baiklah,” seruku sambil menghela nafas. “Ini akan menjadi liburan yang panjang.”
“Apa?”
“Tidak.”
“Hmm ya sudah, mari kita beristirahat di rumah paman! Kau terlihat lelah dan basah kuyup,” ajak Paman Karya mengakhiri perbincangan.
“Mari, paman.”