Oleh : Rizky Sopiyandi
“Dunia politik memang asyik ga asyik..” sebait lirik dari penyanyi yang menjadi legenda hidup dunia musik indonesia iwan fals memang dirasakan betul dewasa ini dalam kancah dunia perpolitikan di indonesia. Hakikatnya, memang manusia sebagai zone politicon, yang notabene tak pernah lepas dari nilai-nilai atau aspek kehidupannya dari politik. Baik itu politik yang didefinisikan dalam arti yang luas, maupun dalam arti yang sempit.
Setiap saat, baik itu yang kita rasakan langsung, ataupun melalui pelantara media massa kita dijejali berbagai ragam kehidupan bermasyarakat yang tak jauh dari politik. Politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun, bagaimanapun ia didefinisikan, satu hal sudah pasti, bahwa politik menyangkut kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan. Dalam pengertian sehari-hari, politik juga berhubungan dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara (Amien Rais, Cakrawala Islam, hlm. 27).
Ironisnya, realitas politik yang ada atau pun yang disajikan oleh media yang ada di indonesia menimbulkan suatu opini publik yang tegas bahwasanya politik adalah sesuatu yang bersifat kotor. Tak heran memang, karena itulah yang terjadi dewasa ini. Politik dijadikan suatu metode kotor para elit dalam memuaskan kepentingan kotornya pula. Sehingga anak bangsa melihat politik yang tak lepas dari paradigma keliru pada pelaku politik yang ada.
Padahal Nabi Muhammad yang tegas adalah seorang panutan bagi kita –Umat Muslim- pun berkiprah dalam dunia politik. Dan tentunya apa yang dilakukan Rasulullah dalam dunia politik amat jauh dari asumsi kita selama ini terhadap dunia politik.
Nabi mengembangkan kepemimpinan moral dalam kehidupan politiknya. Ini merupakan respons yang sangat tepat dalam menghadapi struktur masyarakat pra-Islam yang feodalistik dan represif, karena yang ditekankan adalah aspek moralitas (akhlaq al-karimah). Oleh karena itu, politik pada zaman Nabi berfungsi sebagai kendaraan moral yang efektif.
Nabi Muhammad dengan spirit religiusitas dan moralitasnya berhasil membangun sebuah komunitas yang beradab di Madinah. Bersama semua unsur penduduk Madinah, Nabi meletakkan dasar-dasar peradaban (madaniyyah) dengan membuat sebuah perjanjian (Piagam Madinah) yang mengatur mengenai kehidupan beragama, ekonomi, sosial, dan politik. Dalam hal ini, ikatan keadaban (bond of civility) ditegakkan oleh semangat universal ketuhanan untuk menegakkan sistem hukum yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Moralitas menjadi kunci penting dalam kepemimpinan yang dikembangkan oleh Nabi. Berdasarkan bukti-bukti historis, moralitas menjadi titik poros bagi pengembangan kehidupan bersama yang mampu menciptakan kesejahteraan. Oleh karena itu, jika mengharapkan bangsa Indonesia mampu keluar dari krisis menuju ke arah kehidupan yang menyejahterakan, kepemimpinan yang berlandaskan kepada moralitas merupakan sebuah kebutuhan mutlak. Sebaliknya, pemimpin yang tidak mempertimbangkan moralitas hanyalah akan mengantarkan negara ke arah kehancuran.
Bukan dengan sistem sekular, politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang ditulis dalam buku The Prince. Machiavelli mengajarkan bahwa: (1) kekerasan (violence), brutalitas, dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan penguasa; (2) penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum); (3) dalam menjalankan kehidupan politik seseorang harus dapat bermain seperti binatang buas. Karenanya, praktik politik sistem sekular merupakan homo homini lupus; manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun adalah, “Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh dan seorang politikus harus menipu” (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must kill and politici on lie).
Maka paradigma keliru yang sudah melekat hingga hari ini memang suatu tanggungjawab kita bersama. Politik memang tak bisa dipungkiri merupakan suatu media yang tepat dalam malkukan suatu perubahan, perubahan kearah yang lebih baik tentunya. Maka identifikasi terkait penggunaan metode ini bijaknya menjadikannya sebagai suatu metode, bukanlah suatu tujuan atas kepentingan tertentu.
Seperti halnya yang terjadi didunia para elite dipemerintahan atau bahkan para penerus bangsa, dalam hal ini dunia kemahasiswaan, yang seringkali menganalogikan kampus sebagai suatu miniatur negara. Mereka ataupun kita kadang kala terlenakan hal yang sifatnya demikian. Seringkali politik diorientasikan sebagai suatu metode dalam perebutan suatu kedudukan. Padahal sudah menjadi kesadaran bersama pembentukan suatu kultur yang kritis transformatif dan peka terhadap realitas merupakan tujuan final pemakaian metode yang satu ini. Kedudukan sebagai suatu media perubahan, kedudukan sebagai suatu media pembelajaran yang sifatnya learning by doing. Bukan tujuan, bukan alat penindasan.
“Dunia politik memang asyik ga asyik..” sebait lirik dari penyanyi yang menjadi legenda hidup dunia musik indonesia iwan fals memang dirasakan betul dewasa ini dalam kancah dunia perpolitikan di indonesia. Hakikatnya, memang manusia sebagai zone politicon, yang notabene tak pernah lepas dari nilai-nilai atau aspek kehidupannya dari politik. Baik itu politik yang didefinisikan dalam arti yang luas, maupun dalam arti yang sempit.
Setiap saat, baik itu yang kita rasakan langsung, ataupun melalui pelantara media massa kita dijejali berbagai ragam kehidupan bermasyarakat yang tak jauh dari politik. Politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun, bagaimanapun ia didefinisikan, satu hal sudah pasti, bahwa politik menyangkut kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan. Dalam pengertian sehari-hari, politik juga berhubungan dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara (Amien Rais, Cakrawala Islam, hlm. 27).
Ironisnya, realitas politik yang ada atau pun yang disajikan oleh media yang ada di indonesia menimbulkan suatu opini publik yang tegas bahwasanya politik adalah sesuatu yang bersifat kotor. Tak heran memang, karena itulah yang terjadi dewasa ini. Politik dijadikan suatu metode kotor para elit dalam memuaskan kepentingan kotornya pula. Sehingga anak bangsa melihat politik yang tak lepas dari paradigma keliru pada pelaku politik yang ada.
Padahal Nabi Muhammad yang tegas adalah seorang panutan bagi kita –Umat Muslim- pun berkiprah dalam dunia politik. Dan tentunya apa yang dilakukan Rasulullah dalam dunia politik amat jauh dari asumsi kita selama ini terhadap dunia politik.
Nabi mengembangkan kepemimpinan moral dalam kehidupan politiknya. Ini merupakan respons yang sangat tepat dalam menghadapi struktur masyarakat pra-Islam yang feodalistik dan represif, karena yang ditekankan adalah aspek moralitas (akhlaq al-karimah). Oleh karena itu, politik pada zaman Nabi berfungsi sebagai kendaraan moral yang efektif.
Nabi Muhammad dengan spirit religiusitas dan moralitasnya berhasil membangun sebuah komunitas yang beradab di Madinah. Bersama semua unsur penduduk Madinah, Nabi meletakkan dasar-dasar peradaban (madaniyyah) dengan membuat sebuah perjanjian (Piagam Madinah) yang mengatur mengenai kehidupan beragama, ekonomi, sosial, dan politik. Dalam hal ini, ikatan keadaban (bond of civility) ditegakkan oleh semangat universal ketuhanan untuk menegakkan sistem hukum yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Moralitas menjadi kunci penting dalam kepemimpinan yang dikembangkan oleh Nabi. Berdasarkan bukti-bukti historis, moralitas menjadi titik poros bagi pengembangan kehidupan bersama yang mampu menciptakan kesejahteraan. Oleh karena itu, jika mengharapkan bangsa Indonesia mampu keluar dari krisis menuju ke arah kehidupan yang menyejahterakan, kepemimpinan yang berlandaskan kepada moralitas merupakan sebuah kebutuhan mutlak. Sebaliknya, pemimpin yang tidak mempertimbangkan moralitas hanyalah akan mengantarkan negara ke arah kehancuran.
Bukan dengan sistem sekular, politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang ditulis dalam buku The Prince. Machiavelli mengajarkan bahwa: (1) kekerasan (violence), brutalitas, dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan penguasa; (2) penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum); (3) dalam menjalankan kehidupan politik seseorang harus dapat bermain seperti binatang buas. Karenanya, praktik politik sistem sekular merupakan homo homini lupus; manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun adalah, “Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh dan seorang politikus harus menipu” (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must kill and politici on lie).
Maka paradigma keliru yang sudah melekat hingga hari ini memang suatu tanggungjawab kita bersama. Politik memang tak bisa dipungkiri merupakan suatu media yang tepat dalam malkukan suatu perubahan, perubahan kearah yang lebih baik tentunya. Maka identifikasi terkait penggunaan metode ini bijaknya menjadikannya sebagai suatu metode, bukanlah suatu tujuan atas kepentingan tertentu.
Seperti halnya yang terjadi didunia para elite dipemerintahan atau bahkan para penerus bangsa, dalam hal ini dunia kemahasiswaan, yang seringkali menganalogikan kampus sebagai suatu miniatur negara. Mereka ataupun kita kadang kala terlenakan hal yang sifatnya demikian. Seringkali politik diorientasikan sebagai suatu metode dalam perebutan suatu kedudukan. Padahal sudah menjadi kesadaran bersama pembentukan suatu kultur yang kritis transformatif dan peka terhadap realitas merupakan tujuan final pemakaian metode yang satu ini. Kedudukan sebagai suatu media perubahan, kedudukan sebagai suatu media pembelajaran yang sifatnya learning by doing. Bukan tujuan, bukan alat penindasan.