Oleh: Rizabul Husna
Ada banyak jenis tulisan. Kalau biasa membuka-buka surat kabar atau majalah, pastilah ada banyak jenis tulisan yang bisa di temukan. Ada berita, cerpen, cerbung, novel, puisi atau sajak, cergam atsau cerita bergambar, dan komik, juga ada esai atau artikel maupun surat pembaca di tulis seorang warga.
Ada juga jenis tulisan yang sulit di temukan di surat kabar atau majalah, yaitu diary atau catatan harian, dan tentu bukanlah jenis tulisan yang biasa di publikasikan di media cetak. Dan tulisan iini memang hanya berisi catatan pribadi seseorang.
Secara garis besar, unsur-unsur penting dalam tulisan meliputi tema, penokohan, setting, alur/cerita, konflik/klimaks dan ending. Selain enam unsur ini, ada “alat khusus” yang perlu di bahas, yaitu bahasa dan gaya ungkap si penulis dalam mempergunakan bahasa.
Dalam dunia penulisan, tahap pencairan tema dan ide hingga penulisan di sebut sebagai proses kreatif. Atau, proses berkarya. Suatu proses penciptaan seorang pangeran atau seniman. Berikut tips untuk menulis kreatif:
1. Tema & ide
Tema merupakan dasar tulisan. Menentukan tema berarti menentukan apa yang akan di tulis oleh seorang penulis. Tema tulisan akan membantu penulis menunjukkan arah, kemana tulisan itu akan di tujukkan.
Tema tulisan bermacam-macam. Dari segi cerita, tema tulisan dapat di bagi menjadi tema misteri, drama, humor/komedi, dan futuristic (masa depan) atau fiksi ilmiah (science fiction).
Dari segi isi cerita, tema tulisan dapat bermacam-macam. Tema keluarga, tema persahabatan, tema sosial, tema ilmu pengetahuan dan sebagainya. Kita tinggal mencarinya, dan memilih sesuai dengan keinginan.
Setelah tema di temukan, segera carilah ide cerita yang menarik, dan sesuai dengan yang kita pahami dan minati supaya mudah menuliskannya.
2. Penokohan
Dalam sebuah cerita, semakin unik sang tokoh biasanya semakin membuat penasaran pembaca. Semakin banyak pula ide yang di tulis. Jadi jangan segan-segan mencari tokoh yang berbeda dengan tokoh-tokoh yang di tulis penulis lain. Tak ada salahnya secara sadar justru memilih tokoh yang bentuk fisik atau tingkah lakunya aneh.
Apapun, yang penting tokoh itu “nyambung” dengan tema dan jalinn ceritanya.
3. Setting
Tokoh dalam sebuah tulisan bisa menjadi tokoh utama, pembantu utama dan tokoh pembantu. Tokoh juga bisa protagonis (baik) dan tokoh antagonis (jahat). Sebuah cerita biasanya memang melibatkan dua jenis tokoh itu, protagonis dan antagonis. Karena hubungan dua tokoh yang bertentangan inilah timbul konflik, salah satu unsur yang di butuhkan dalam alur cerita.
Setting adalah waktu dan tempat kejadian. Ketika kita hendak menulis sebuah kisah, kita pasti berfikir, dimana kisah dalam cerita itu berlangsung dan kapan terjadi. Di desa atau kota? Desa dan kota yang benar-benar ada, ataukah khayalan? Di dalam negri atau luar negri? Ataukah malah di negri hayalan? Dan, kejadian berlangsung di masa kini, masa lalu atau masa depan?
Dengan kata lain, meskipun setting pada intinya berarti unsur waktu dan tempat kejadian, tetapi harus di garap dengan baik. Menjelaskan setting dalam sebuah tulisan berbeda dengan menjelaskan setting dalam kartu undangan ulang tahun misalnya.
Setting dalam sebuah tulisan harus mampu mengangkat, menggambarkan, dan menghidupkan suasana. Jadi, ada bagian lain yang juga termasuk bagian dari kelengkapan setting, yaitu suasana.
Setting di buat sedemikian rupa sehingga tidak seperti dalam kartu undangan ulang tahun, yang apa adanya. Ini dilakukan semata-mata untuk menghidupkan tulisan yang kita buat.
4. Alur Cerita
Alur cerita atau plot adalah kejadian atau peristiwa yang berlangsung dalam sebuah cerita dari awal hingga akhir. Alur cerita harus mengalir seperti air mengalir seperti air sungai. Maksudnya, berjalan secara tidak di paksakan sehingga membuat cerita yang kita tulis seakan-akan benar-benar terjadi di depan mata.
Alur cerita harus di buat sedemikian rupa supaya pembaca tidak bosan. Terkadang dibuat datar (bayangkan pembaca sampai bengong), kadang dibuat naik (bayangkan yang sedang membaca memelototkan matanya karena tercengang), dan kadang dibuat menurun (bayangkan yang sedang membacanya terlihat sedih). Jadi, alangkah baiknya jika alur cerita itu dibuat bervariasi, sehingga emosi pembaca terbawa hanyut dan teraduk-aduk. Terkadang bengong, tersentak kaget, atau menghembuskan nafas berkali-kali.
Alur cerita atau plot ada dua macam, yaitu maju dan mundur. Alur cerita maju adalah kejadian atau peristiwa yang berlangsung secara runtut dari awal hingga akhir. Sedang alur cerita mundur adalah kejadian atau peristiwa yang berlangsung secara tidak runtut. Tiba-tiba menceritakan masa lalu si tokoh. Tiba-tiba menceritakan alasan si tokoh berbuat sesuatu. Alur cerita seperti ini digunakan untuk menguatkan karakter si tokoh, sekaligus membuat pembaca tidak bosan.
5. Konflik
Konflik merupakan unsur paling penting dalam karya fiksi. Konfliklah penggerak segala unsur dalam tulisan. Tanpa konflik, semua unsur dalam tulisan tidak bergerak. Konflik inilah yang menjadi sumbu sebuah cerita.
Dalam cerita rekaan seperti cerpen, konflik berarti ketegangan atau pertentangan. Pertentangan bisa terjadi dalam diri seorang tokoh. Pertentangan dalam batin, umpamanya. Bisa jadi pula antara dua tokoh atau lebih. Jenisnya bermacam-macam, dan nyaris tifak terbatas. Sumbernya bisa berupa persoalan remeh, misalnya hilangnya jepit rambut. Atau hilangnya karet penghapus. Bisa juga karena persoalan besar, seperti perceraian orang tua.
Ingat, sebuah cerpen menjadi bagus atau buruk bukan karena besar atau kecilnya konflik. Tetapi, lebih pada bagaimana penggarapan, alur cerita, dan penyelesaiannya.
Dalam sebuah cerita, konflik yang dialami tokoh harus bisa diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan bobot konfliknya. Umpamanya, konflik yang dialami seorang anak jalanan. Di jalan raya, aneka konflik pasti dihadapinya. Ada banyak sumber yang mendatangkan konflik. Mungkin sopir mobil yang garang, preman yang suka memeras, kelaparan perut, tak punya rumah untuk tidur dan sebagainya.
Dengan demikian, kalau konfliknya berupa kelaparan dan tiadanya tempat tinggal, bisa saja diselesaikan dengan akhir bahagia. Anak jalanan itu di angkat oleh orang kaya, misalnya. Atau kalau konfliknya bersumber pada mobil-mobil yang melaju kencang, boleh juga diselesaikan dengan akhir sedih. Umpamanya dia tewas karena ditabrak mobil yang supirnya mabuk.
Pada dasarnya, segala hal bisa menjadi konflik, perhatikan adik, kakak, atau teman sekitar. Mungkin saja ada sesuatu yang aneh, khas atau unik. Adik ternyata menyukai warna merah dan kakak memilih warna hitam. Mengapa bisa berbeda-beda? Masing-masing pasti punya alasan. Perbedaan selera pada warna ini saja bisa diolah menjadi sumber konflik, bukan?
6. Penutup Cerita
Sebuah cerita, entah cerpen entah novel, selalu ada akhir ceritanya. Akhir atau penutup cerita inilah yang disebut dengan istilah ending. Sebuah cerita akan merasa hambar jika penutupnya biasa-biasa saja. maksudnya, penutupnya tidak menimbullkan kesan kepada pembaca. Bagian ini penting untuk mengakhiri cerita.
Ending dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ending tertutup, ending terbuka, dan ending special. Ketiga ending ini hanya istilah saja supaya kita dapat mudah memahaminya.
Ending tertutup adalah sebuah penutup yang benar-benar mengakhiri cerita. Misalnya, cerita tentang tokoh utamanya berakhir bahagia, menyedihkan, meninggal dan sebagainya.
Ending terbuka merupakan penutup yang membuat pembaca bertanya-tanya setelah membaca tuntas karena ceritanya seperti belum berakhir. Misalnya, dalam cerita si tokoh di kisahkan jatuh ke dalam jurang dan tidak di jelaskan dia meninggal atau masih hidup. Karena tiadanya keterangan yang memastikan akhir riwayat sang tokoh, pembaca terpaksa bertanya-tanya sendiri.
Ending special yaitu penutup yang menimbulkan unsur kejutan bagi pembaca. Misalnya, dalam cerita di kisahkan pada saat menjelang ending, si tokoh seolah-olah akan sedih, tapi ternyata berakhir bahagia. Atau sebaliknya, penjelasan yang menunjukan si tokoh bakal bahagia di halaman-halaman menjelang ending, ternyata berakhir sedih.
Kita bisa membuat pembaca terkesan dengan tulisan kita jika ending yang dibuat sebagai penutup cerita mengesankan. Syaratnya, buatlah ending yang sulit di tebak oleh pembaca. Atau, mengandung unsur kejutan. Ending juga harus seimbang dengan konflik, atau masalah yang dihadapi si tokoh utama.
7. Bahasa
Bahasa adalah alat untuk menyampaikan cerita. Bahasa yang digunakan pada setiap cerita, sebaiknya bahasa yang baik dan benar.
Bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang sesuai dengan aturan tata bahasa, bukan bahasa percakapan seperti “kenapa kamu tidak pergi sendiri aja?”, kata “kenapa” dan “aja” biasa kita pergunakan dalam percakapan sehari-hari, padahal kata itu tidak baku, yang benar adalah “mengapa” dan “saja”.
Dalam bahasa percakapan juga sering muncul istilah-istilah prokem atau slang, yaitu istilah-istilah atau kata-kata yang “diselewengkan” atau “diplesetkan”. Contohnya kata “najong”, yang merupakan plesetan dari kata “najis”. Pembalikan suku kata yang biasa dilakukan oleh masyarakat malang (jawa timur) juga termasuk slang. Misalnya kata “mas” (kakak) menjadi “sam”.
Dalam cerita, bahasa percakapan dan istilah prokem bukan tak mungkin digunakan. Begitu juga bahasa daerah atau bahasa asing. Syaratnya mesti ada pertimbangan khusus. Misalnya begini. Kita hendak menampilkan tokoh betawi, lengkap dengan ciri-ciri khas kebetawiannya. Termasuk gaya bahasa dan cara bicaranya.
Kalau kebetawian si tokoh itu hendak di tampilkan, penggambarannya sebaiknya lewat dialog si tokoh, bukan narasi (penceritaan) si pengarang.
Terpengaruh oleh gaya penulisan pengarang lain , apalagi yang sudah ternama, tak ada salahnya “meniru-niru” gaya pengarang ternama yang kita sukai. Tetapi satu hal sangat disarankan : jangan pernah menjiplak! Artinya, haram hukumnya untuk meniru 100 persen gaya tutur orang lain. Yang dimaksud menjiplak disini adalah meniru habis-habisan tulisan karya orang lain sampai ke titik komanya.
Percayalah, tanpa menjiplak pun, asalkan tekun berlatih, kita akan menemukan gaya khas kepenulisan kita. Dalam berproses, ciri khas itu akan terbentuk dan ditemukan dengan sendirinya.
Untuk keterampilan bahasa, selain terus dan terus berlatih menulis, jangan lupakan hal lain. Yakni, banyak membaca. Dengan banyak membaca kita bakal mengetahui berbagai gaya ungkap atau gaya bahasa yang dipergunakan oleh media ataupun pengarang atau penulis yang berbeda-beda. Pengetahuan dan wawasan kita tentang banyak hal pun termasuk gaya tutur akan semakin bertambah.
8. Gaya Ungkap
Narasi-Dialog
Yang di maksud deskripsi atau narasi adalah gaya penuturan si penulis. Bentuk narasi dan dialog biasanya digunakan secara bersamaan dalam sebuah cerita. Secara berselang seling, sesuai kebutuhan dan selera digunakan.
Ada ceita yang bentuk deskripsi atau narasinya jauh lebih banyak. Tak sedikit pula cerita yang bentuk dialognya lebih banyak. Dalam hal ini, penulis bebas menentukan mana yang lebih banyak digunakan.
Jangan salah, tak sedikit pula cerita yang praktis sama sekali tanpa dialog. Penulis hanya menggunakan satu gaya ungkap, yakni deskripsi atau narasi. Di dalamnya tetap ada unsur dialog antar tokoh. Tetapi bentuk penulisannya disampaikan dalam kalimat tak langsung.
“Aku”-“Dia”
Gaya penceritaan juga mengenal dua ragam. Pertama menggunakan “aku” sebagai narator (pencerita). Dalam gaya ini, seolah-olah si penulis menjadi “aku” dalam cerita itu. Atau, “aku” dalam cerita itu seakan-akan ya penulis itu sendiri.
Kedua, gaya naratif dengan menggunakan orang ketiga atau kata ganti orang ketiga (“dia”). Dalam hal ini, penulis membuat jarak dengan tokoh-tokoh dalam ceritanya. Si tokoh di tempatkan sebagai “orang ketiga”.
Dalam gaya pertama, dengan “aku” sebagai pencerita, otomatis si “aku” atau “saya” menjadi tokoh utama.
Kedua, gaya naratif penulis menggunakan orang ketiga (biasanya dengan menyebut langsung siapa nama tokoh dalam cerita) atau kata ganti orang ketiga (“dia”, “ia”). Untuk gaya ini, si penulis benar-benar membuat jarak yang jelas dengan tokoh-tokohnya. Penulis menempatakan dirinya sebagai narator atau pencerita tentang sesuatu yang seakan tak melibatkan dirinya.
“Aku”-“Engkau”
Ada juga bentuk lain, yang sekali waktu bisa di temukan dalam cerpen atau novel. Yakni, sebut saja gaya “aku”-“Engkau”. Dalam cara tuturan ini, penulis seolah-olah menempatkan dirinya sendiri – si “aku”- sebagai tokoh utama.
Agar lebih gamblang, marilah kita kutip sepenggal adegan dari Rahasia Sekeping Logam, misalnya adegan ini:
“Alia!” panggil Usagi, teman sebangkuku yang selalu menemaniku selama aku tinggal di Jepang, “Hari ini kamu ulang tahun, kan? Selamat, ya! Semoga panjang umur,” Usagi mengulurkan tangan.
“Terima kasih,” aku membalas uluran tangannya.
Kalau bentuk “Aku”-“Engkau” hendak dipilih, maka cara penulisan adegan di cerpen ini bakal berubah menjadi begini:
“Alia!” panggilmu. Ah, Usagi… Engkau tak Cuma teman sebangkuku. Engkaulah yang selalu menemaniku selama aku tinggal di Jepang. “Hari ini kamu ulang tahun, kan? Selamat, ya… semoga panjang umur!” Engkau mengulurkan tanganmu.
“terima kasih” aku membalas uluran tanganmu.
Mirip orang berdialog atau bercakap, bukan?
Nah, enam unsur dasar yang diperlukan dalam menulis sebuah cerita sudah dipaparkan. Begitu pula unsur bahasa sebagai alat menyampaikan cerita, dan gaya tutur untuk mengungkapkan cerita.
Sekarang, sudah siap mencoba menulis dengan fun, bukan? Jika sudah, yuk kita mencoba untuk menulis!
Penulis adalah mahasiswa KPI UIN SGD Bandung, dan anggota Forum Pe-SK.