Oleh : Nizar Fahmi
Berawal dari sebuah pemandangan yang tak lazim. saya memandang sebuah pemandangan yang sangat mengganggu, leupeutisasi atau memakai pakaian yang seolah tak memakai pakaian. Fenomena ini sudah terjadi beberapa tahun belakangan di kaula muda Indonesia. Bukan hanya di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung, bukan hanya di Bandung, bukan hanya Jawa Barat, bukan pula hanya di Pulau Jawa dan sekitarnya, tetapi ini menjangkiti kaula muda Indonesia.
Berawal dari sebuah pemandangan yang tak lazim. saya memandang sebuah pemandangan yang sangat mengganggu, leupeutisasi atau memakai pakaian yang seolah tak memakai pakaian. Fenomena ini sudah terjadi beberapa tahun belakangan di kaula muda Indonesia. Bukan hanya di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung, bukan hanya di Bandung, bukan hanya Jawa Barat, bukan pula hanya di Pulau Jawa dan sekitarnya, tetapi ini menjangkiti kaula muda Indonesia.
Beberapa waktu lalu, di televisi heboh tentang kasus pemerkosaan di Angkot –Angkutan Antar Kota—beberapa pihak menyalahkan si pelaku pemerkosaan, keduanya adalah sopir dan konekturnya. Kejadian ini sempat menjadi agenda media-media besar di Indonesia, khususnya televisi. Mereka beramai-ramai menghakimi sopir dan konektur itu, member terjungkir.
Tidak bijak. Begitulah saya rasa ketika melihat pemberitaan yang dilakukan media massa makro kala itu. Tidak dipungkiri itu merupakan agenda besar mereka, karena saya yakin rating berita itu naik terus menerus setiap harinya. Tetapi, malang bagi sopir dan konektur itu, bukan hanya mereka, tetapi seluruh sopir dan konektur di Indonesia. Penilaian buruk yang disampaikan media massa melalui kekuatan mereka telah menjatuhkan harkat martabat profesi ini. padahal sejatinya, tidak semua sopir dan konektur berlaku bejat sedemikian bejat. Mereka tetaplah manusia, memerlukan penilaian yang tidak hanya berasal dari satu sisi, tetapi dari sisi yang lain.
Bukan pula tidak menyalahkan kedua pelaku pemerkosaan itu. Bagaimanapun, seperti apapun, mereka tetaplah salah dengan memerkosa penumpangnya. Ibarat emas, mereka merebut emas sebelum emas itu sampai ke tempat perdagangan dan memakainya secara bergantian.
Setelah mereka melakukan kesalahan itu. Ada satu hal yang membuat saya terusik dari kebisingan yang terjadi. Yaitu leupeutisasi di kalangan kaula muda. Trend yang lebih menjurus pada pameran lekak-lekuk tubuh secara live setiap saat. Saat ini, tidak perlu membayar untuk saluran biru di tv kabel, cukup diam di depan rumah, menenteng segelas kopi dan menonton parade syahwat yang lalu lalang, khususnya di kota.
Leipeutisasi, sebenarnya adalah cara penggunaan pakaian yang menutup tubuh namun tetap memperlihatkan lekak lekuk tubuh pemakainya. Pakaian, sejatinya untuk menutupi tubuh seseorang. Menjadi perlindungan bagi permukaan kulit yang sensitif dari sinar mentari langsung, maupun perlindungan dari angin malam yang dapat menyebabkan penyakit.
Dalam islam, pakaian bukan hanya sebagai alat yang melindungi lokasi-lokasi ‘penting’ pada tubuh manusia, fitrah pakaian yang sebenarnya terletak pada menutup aurat atau tidak kah pakaian yang dipakai itu. Jika tidak, maka substansi dari pakaian itu mungkin hanya setengah dari pakaian yang disyariatkan oleh agama islam pada ummatnya.
Keindahan. Keindahan menjadi salah satu factor mengapa pakaian selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan yang terjadi biasanya menuju pada keindahan, tetapi keindahan pun jangan sampai melupakan substansi pakaian yang seharusnya menjadi penutup aurat, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Akan tetapi, pakaian yang tren menurut kaula muda saat ini, kebanyakan justru malah memunculkan lekak lekuk tubuh si pemakai. Ini sudah jauh keluar dari fitrah pakaian yang menutup aurat. Meskipun tengah digandrungi dan menjadi lahan usaha bagi beberapa kalangan, industry pakaian yang mencetak tubuh sama persis dengan tidak berpakaian.
Pakaian yang seharusnya dikenakan adalah tidak memunculkan lekuk tubuh si pemakai. Meskipun saat ini kebanyakan kaula muda lebih menyukai ‘pameran lekuk tubuh’ di depan umum, ini semestinya tidak disikapi dengan sebelah mata oleh produsen pakaian.
Contoh kasus yang menimpa penumpang angkot dalam ilustrasi di atas setidaknya dapat menjadi sebuah pembelajaran, bahwa kejahatan dapat terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelaku, tetapi lebih pada munculnya kesempatan untuk melakukan kejahatan itu. Dalam kasus di atas, penulis melihat kesalahan tidak sepenuhnya terletak pada sopir dan konekturnya, tetapi kesalahan dapat dibagi menjadi dua, pertama kesalahan pada sopir dan konekturnya yang melakukan tindak criminal (pemerkosaan) dan kedua adalah kesalahan pada diri penumpang itu sendiri.
Sejak zaman Nabi Adam AS hingga hari ini bayi bermain Ipad, pakaian telah menjadi salah satu dari tiga kebutuhan primer manusia. Pakaian memiliki faedah yang tidak sedikit. Selain menutup aurat, pakaian juga menjadikan si pemakai bertambah cantik bila ia perempuan, dan bertambah tampan bila ia laki-laki.
Ada empat hal yang mesti terpenuhi dalam berpakaian, yaitu ; menutup aurat, tidak menampilkan bentuk tubuh, tidak menimbulkan ria, memilih warna yang sesuai. Keempat hal yang baru saja dipaparkan mesti terpenuhi, guna mengurangi kejadian yang tidak diinginkan yang mungkin saja akan terjadi. Itulah yang dapat penulis paparkan sejauh ini, kurang lebihnya mohon maaf.