Tengah malam itu seraut wajah dihiasi butiran air segar yang turun
perlahan jatuh tenang membasahi dada, diambilnya sajadah pemberian sang
bunda bernamakan dirinya, Rihana Dewi, yang tersusun rapi bersama mukena
putih di dalam almari besinya. kemudian ia adah itu menghadap kiblat,
lalu termenung sejenak, "Tuhan..inilah aku yang bodoh. inilah aku yang
dungu. inilah aku yang lama melupakan-Mu. inilah aku yang kata maaf-Mu
tidak aku harapkan. inilah aku yang ingin mengadap-Mu. aku tak mengharap
apa-apa, sungguh tak ingin apa-apa. Begitu nistanya masa laluku, begitu
haramnya setiap detik yang kulewati. begitu jijiknya aku ketika
mengenang masa silamku. Tuhan.. kalau Engkau bisa, simpan dulu
kemahatahuan-Mu. aku ingin berubah, dan tak ingin siapa pun yang tahu.
aku malu, sungguh malu.."
Tak terasa air matanya turun berderai, membentuk jalan di atas pipinya. Dia terdiam bak patung, berdiri kaku, tangannya tak sanggup diangkat saat akan mengucapkan 'Allahu akbar". air terus keluar dari sudut-sudut mata, kaki dan tangannya bergetar hebat, nafasnya terengah-engah, lehernya tegag, badannya membeku, mengeras, tak tahan dengan apa yang dirasa. Diatasnya berkeliaran sejuta pengalaman yang sekarang menjadi makhluk yang menakutkan. saat dia bangga bisa menghabiskan berpuluh-puluh pil terlarang. saat dia tertawa senang merelakan tubuhnya ditiduri berpuluh-puluh lelaki. saat dia sadar ketika melakukan dosa-dosa itu. dia pun terkadang ingat keimanannya, tetapi menjadikan keimanan itu sebagai Tuhan yang kekal selamanya, dia tak menghiraukan bagaimana seandainya ketika itu dia mati.
Ketika umur delapan belas tahun, ia sudah menyerahkan kesuciannya kepada sang kekasih. namun kekasihnya pergi meninggalkannya. dari kejadian itulah ia trauma terhadap keadaan, ia menjadi tak segan memberikan tubuhnya kepada setiap lelaki yang menginginkannya. hanya satu yang ia pikirkan ketika itu, 'Kagok borontok kapalang belang'. disaat orang tuanya tahu keadaannya, seketika itu mereka langsung mengusirnya, dan tak sudi lagi melihat anaknya itu. Dia pun pergi meninggalkan rumah, tanpa membawa apa pun kecuali sebuah gitar kenangan pemberian kakeknya, hanya gitar itu yang ia bisa petik ketika kerinduan menyelimutinya. kini ia hidup sebatang kara di pesisir pantai..
Tak terasa air matanya turun berderai, membentuk jalan di atas pipinya. Dia terdiam bak patung, berdiri kaku, tangannya tak sanggup diangkat saat akan mengucapkan 'Allahu akbar". air terus keluar dari sudut-sudut mata, kaki dan tangannya bergetar hebat, nafasnya terengah-engah, lehernya tegag, badannya membeku, mengeras, tak tahan dengan apa yang dirasa. Diatasnya berkeliaran sejuta pengalaman yang sekarang menjadi makhluk yang menakutkan. saat dia bangga bisa menghabiskan berpuluh-puluh pil terlarang. saat dia tertawa senang merelakan tubuhnya ditiduri berpuluh-puluh lelaki. saat dia sadar ketika melakukan dosa-dosa itu. dia pun terkadang ingat keimanannya, tetapi menjadikan keimanan itu sebagai Tuhan yang kekal selamanya, dia tak menghiraukan bagaimana seandainya ketika itu dia mati.
Ketika umur delapan belas tahun, ia sudah menyerahkan kesuciannya kepada sang kekasih. namun kekasihnya pergi meninggalkannya. dari kejadian itulah ia trauma terhadap keadaan, ia menjadi tak segan memberikan tubuhnya kepada setiap lelaki yang menginginkannya. hanya satu yang ia pikirkan ketika itu, 'Kagok borontok kapalang belang'. disaat orang tuanya tahu keadaannya, seketika itu mereka langsung mengusirnya, dan tak sudi lagi melihat anaknya itu. Dia pun pergi meninggalkan rumah, tanpa membawa apa pun kecuali sebuah gitar kenangan pemberian kakeknya, hanya gitar itu yang ia bisa petik ketika kerinduan menyelimutinya. kini ia hidup sebatang kara di pesisir pantai..