Oleh : Rizky Sopiyandi
Ternyata, tak cukup semua itu. Tak cukup, entah kenapa. Semua hanya berjalan dalam taraf keinginan. Sebenarnya tanpa itu pun hakikatnya adalah keberadaan. Tanpa itu. Tanpa klaim-klaim nilai yang bertebaran dalam sebuah tradisi. Tanpa nilai yang biasa manusia bagi dalam sebuah paripurna yang entah digelar siapa.
Manusia bergelut dalam sebuah perang, entah perang dalam perspektif apapun, yang intinya ia hanya mencari sebuah kedamaian. Kedamaian adalah cikal dari sebuah kehidupan yang nyama. Tapi, jika semua sudah nyaman, orang-orang malah berkata itu berbahaya. Kadang, tanpa belas kasihan mereaka menganggap itu sebagai proses bunuh diri. Ya, kenyamanan yang kita sadari sebenarnya adalah proses dimana kita membunuh diri kita. Ngerinya, mungkin aku, kamu, atau kita masih bernafas, berjalan seperti biasa, bahkan bisa merlari lebih kencang dari sebelumnya, tapi jiwa kita mati, itu katanya. Kata mereka yang televise beri gelar motivator. Ah, apa benar?
Sedikit kita tengok bagaimana orang-orang besar yang terkisah nyatanya tak hidup dalam sebuah kenyamanan. Rasulullah kita tau bagaimana keadaan dunia yang tak cukup dimengerti akal untuk menjadikannya sebuah nilai sejahtera. Atau bagaimana perjuangan tokoh-tokoh inspiratif dunia yang nyatanya didominasi oleh kisah-kisah pahit kehidupan, dan tentunya berbuah manis diujungnya. Happy Ending. Pertanyaannya, apa harus selalu di Ending untuk sebuah Happy?
Kadang, bahkan sering diri ini bermonolog dengan hati. Pikiran dan jiwa ini berkonsolidasi untuk memanipulasi hati. Karena katanya hati lah yang menentukan pikiran maupun jiwa kita. Tapi bagaimana jika kita membalikan metode tersebut. Patut kita mencobanya.
Contoh, pikiran ini terus menghantam hati dengan asumsi-asumsi yang sebenarnya ditolak mentah-mentah oleh hati. Cinta, sebut saja ia. Kadang logika menuntun kita untuk otomatis mencintai sesuatu yang menurut logika biasa itu sebuah kebaikan. Kebaikan adalah cikal sebuah cinta. Anehnya, tak jarang hati menolaknya, bahkan menghantamnya dengan asumsi-asumni lain. Bahkan, asumsi yang ternyata bermodal dari pikiran itu sendiri. Pengalaman contohnya, memoria. Tak jarang ia membentengi bagaimana piker atau logika untuk berkuasa dalam kedirian kita. Menghanguskan bahwa realita selalu maju kedepan. Senantiasa realita bergerak maju dan meninggalkan tanpa belas kasihan sang kenangan. Mengaburkan bahwa kehidupan tak pernah menunggu masa lalu, terus bergerak maju… maju.. maju.. dan terus maju.
Itu kata hati. Meskipun esensinya berbau logika. Aneh? Tidak. Ia adalah penguasa dari kedirian kita. Bahkan itulah yang menyebabkan kita berbeda, bukan lagi teori klasik jika pikiranlah yang menjadi pembeda. Lho, nyatanya pikiran pun masih tunduk dalam gertak hati. Tak mampu melawan jika hati sudah memberikan instruksi. Hati hanya mampu menjadikan kedirian seakan terombang-ambing dalam tenangnya alus sungai, yang hakikatnya ia akan bermuara, bermuara pada hati. Hati menjadi patokan dalam kemandegan konflik antara logika dan realita. Senang atau tidak, itulah yang terjadi.
Bagaimana dengan raga? Hahaha.. ia hanyalah bungkus dari kehendak hati saya kira. Hanya kacung dari gairah hati atau mungkin logika. Makanya, seringkali hati dan logika tergelitik melihat tingkah mereka saat menyibukan diri berfokus terhadap fisik, terhadap kemasan. Dan kadang membuat mereka Nampak kosong dalam kedirian. Mereka lupa, mungkin. Tak apa, hati dan logika pun boleh salah. Karena diatas hati kita adalah juga yang lebih tinggi katanya. Ia adalah pemimpin dari hati dan logika itu sendiri. Ya, ia adalah Tuhan.
Hingga pada ujungnya, Tuhan dengan produk-produk kehendaknya membentuk sebuah sistem yang menjadi pedoman bagi logika dan hati dalam berkehidupan. Kita menyebutkan Agama. Aturan transendental yang bersifat aksioma, tak semua memang, tapi hakikatnya seperti itu. Apakah ia mengatur seperti halnya hari mengatur kedirian dalam struktur kehidupan kita? Bisa iya, bisa juga tidak. Semua bergantung bagaimana kita menempatkan Agama dalam rangka atau sistem kehidupan itu sendiri, begitu kira-kira filosof dan tokoh-tokoh dunia berkata. Dan hatiku setuju akan itu, tapi lagi-lagi logika ku menolaknya. Ah, masa bodoh dengan logika tapi.
Maka jika boleh diri ini untuk mempunyai sebuah kedaulatan independen, dan Tuhan mengizinkan untuk diri menyingkirkan sementara kehendaknya. Maka, aku hanya ingin menendang jauh-jauh Agama, Budaya, Etika, Estetika, bahkan Logika itu sendiri. Aku hanya ingin hati yang berdaulat dalam diri. Hanya hati, tanpa intervensi. Hanya sejenak saja, tanpa itu semua.
Manusia bergelut dalam sebuah perang, entah perang dalam perspektif apapun, yang intinya ia hanya mencari sebuah kedamaian. Kedamaian adalah cikal dari sebuah kehidupan yang nyama. Tapi, jika semua sudah nyaman, orang-orang malah berkata itu berbahaya. Kadang, tanpa belas kasihan mereaka menganggap itu sebagai proses bunuh diri. Ya, kenyamanan yang kita sadari sebenarnya adalah proses dimana kita membunuh diri kita. Ngerinya, mungkin aku, kamu, atau kita masih bernafas, berjalan seperti biasa, bahkan bisa merlari lebih kencang dari sebelumnya, tapi jiwa kita mati, itu katanya. Kata mereka yang televise beri gelar motivator. Ah, apa benar?
Sedikit kita tengok bagaimana orang-orang besar yang terkisah nyatanya tak hidup dalam sebuah kenyamanan. Rasulullah kita tau bagaimana keadaan dunia yang tak cukup dimengerti akal untuk menjadikannya sebuah nilai sejahtera. Atau bagaimana perjuangan tokoh-tokoh inspiratif dunia yang nyatanya didominasi oleh kisah-kisah pahit kehidupan, dan tentunya berbuah manis diujungnya. Happy Ending. Pertanyaannya, apa harus selalu di Ending untuk sebuah Happy?
Kadang, bahkan sering diri ini bermonolog dengan hati. Pikiran dan jiwa ini berkonsolidasi untuk memanipulasi hati. Karena katanya hati lah yang menentukan pikiran maupun jiwa kita. Tapi bagaimana jika kita membalikan metode tersebut. Patut kita mencobanya.
Contoh, pikiran ini terus menghantam hati dengan asumsi-asumsi yang sebenarnya ditolak mentah-mentah oleh hati. Cinta, sebut saja ia. Kadang logika menuntun kita untuk otomatis mencintai sesuatu yang menurut logika biasa itu sebuah kebaikan. Kebaikan adalah cikal sebuah cinta. Anehnya, tak jarang hati menolaknya, bahkan menghantamnya dengan asumsi-asumni lain. Bahkan, asumsi yang ternyata bermodal dari pikiran itu sendiri. Pengalaman contohnya, memoria. Tak jarang ia membentengi bagaimana piker atau logika untuk berkuasa dalam kedirian kita. Menghanguskan bahwa realita selalu maju kedepan. Senantiasa realita bergerak maju dan meninggalkan tanpa belas kasihan sang kenangan. Mengaburkan bahwa kehidupan tak pernah menunggu masa lalu, terus bergerak maju… maju.. maju.. dan terus maju.
Itu kata hati. Meskipun esensinya berbau logika. Aneh? Tidak. Ia adalah penguasa dari kedirian kita. Bahkan itulah yang menyebabkan kita berbeda, bukan lagi teori klasik jika pikiranlah yang menjadi pembeda. Lho, nyatanya pikiran pun masih tunduk dalam gertak hati. Tak mampu melawan jika hati sudah memberikan instruksi. Hati hanya mampu menjadikan kedirian seakan terombang-ambing dalam tenangnya alus sungai, yang hakikatnya ia akan bermuara, bermuara pada hati. Hati menjadi patokan dalam kemandegan konflik antara logika dan realita. Senang atau tidak, itulah yang terjadi.
Bagaimana dengan raga? Hahaha.. ia hanyalah bungkus dari kehendak hati saya kira. Hanya kacung dari gairah hati atau mungkin logika. Makanya, seringkali hati dan logika tergelitik melihat tingkah mereka saat menyibukan diri berfokus terhadap fisik, terhadap kemasan. Dan kadang membuat mereka Nampak kosong dalam kedirian. Mereka lupa, mungkin. Tak apa, hati dan logika pun boleh salah. Karena diatas hati kita adalah juga yang lebih tinggi katanya. Ia adalah pemimpin dari hati dan logika itu sendiri. Ya, ia adalah Tuhan.
Hingga pada ujungnya, Tuhan dengan produk-produk kehendaknya membentuk sebuah sistem yang menjadi pedoman bagi logika dan hati dalam berkehidupan. Kita menyebutkan Agama. Aturan transendental yang bersifat aksioma, tak semua memang, tapi hakikatnya seperti itu. Apakah ia mengatur seperti halnya hari mengatur kedirian dalam struktur kehidupan kita? Bisa iya, bisa juga tidak. Semua bergantung bagaimana kita menempatkan Agama dalam rangka atau sistem kehidupan itu sendiri, begitu kira-kira filosof dan tokoh-tokoh dunia berkata. Dan hatiku setuju akan itu, tapi lagi-lagi logika ku menolaknya. Ah, masa bodoh dengan logika tapi.
Maka jika boleh diri ini untuk mempunyai sebuah kedaulatan independen, dan Tuhan mengizinkan untuk diri menyingkirkan sementara kehendaknya. Maka, aku hanya ingin menendang jauh-jauh Agama, Budaya, Etika, Estetika, bahkan Logika itu sendiri. Aku hanya ingin hati yang berdaulat dalam diri. Hanya hati, tanpa intervensi. Hanya sejenak saja, tanpa itu semua.