Oleh : Rizky Sopiyandi
"Kalau kamu bukan anak raja, dan kamu bukan anak seorang ulama besar, maka jadilah penulis". Begitu kira-kira apa yang disampaikan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i atau kita mengenalnya dengan nama Imam Al Ghazali, seorang ulama yang juga ahli pikir Filsafat Islam yang lahir pada tahun 450 Hijriyah. Ungkapan yang begitu kerasa, bagiku khususnya. Mengingat, apalah yang bisa saya ungkapkan kepada dunia, jika bukan dengan menggerakan jari-jari ini dan berusaha membuat sebuah kalimat, dan berharap kalimat tersebut berbuah sebuah makna untukku, setidaknya.
Bagiku, menulis adalah sebuah proses monolog antara pikir dan hati manusia. Bagaimana tidak, menulis bagiku adalah sebuah metode untuk mengenal kedirian. Kedirian seorang aku, seorang manusia. Mengenal apa saja elemen yang ada dari diri, sehingga mampu mengoperasikan potensi diri untuk sebuah manfaat. Baik itu untukku pribadi, dan baiknya, menjadi sebuah kemanfaatan bagi yang lain.
Tak hanya itu, bagiku pun menulis tak lain adalah membaca. Point-nya, menulis adalah upaya membaca apa yang ada dalam pikiranku. Karena sadar ataupun tidak disadari, bukanlah sebuah hal yang mudah untuk menafsirkan apa yang kita pikirkan kita. Sekalipun, pikiran itu sendiri setiap harinya senantiasa terikat dengan kedirian seorang manusia. Maka, menulis esensinya adalah sebuah practice bagiku untuk senantiasa berupaya memaksimalkan pesan-pesan yang beredar dalam pikiran. Dan setelah itu, pesan yang bersifat 'setengah matang' ini terproses dan terseleksi oleh hati. Dimana nilai-nilai etika, estetika, bahkan nilai logika dari pesan itu sendiri terolah indah disana. Hingga berujung kepada intisari dari pesan yang ada dan juga telah terolah dengan sistematis itu. Ya, saya percaya menulis adalah membaca.
Dalam perspektif lain dengan wacana yang sama, produk cipta dari struktur dan sistem yang berjalan mulus antara pesan dalam pikirian yang mampu diterjemahkan dengan baik, pun dengan pesan yang terseleksi tepat oleh hati, adalah sebuah cikal dari sebuah karya yang berkualitas. Jika banyak seniman berkata, "Berkaryalah dengan Hati", maka, kalimat itu adalah sebuah kalimat yang terperas dari hasil berjalannya sebuah proses yang sebelumnya telah saya terangkan. Karena, tidaklah mungkin hati berdikari untuk menelurkan sebuah produk pikir tanpa adanya intervensi dari pikiran itu sendiri. Pikiran atau logika itu telah bekerja sebelum hati berperan lebih jauh dalam segi eksekusi penilaian. Begitu menurutku, entah benar atau tidak. Entahlah...
Menulis Untuk Sebuah Peradaban
Peradaban mutakhir yang kita nikmati saat ini adalah implikasi dari kemampuan membaca dan menulis oleh manusia. Ataupun, zaman dimana kita hidup sekarang disebuat 'Zaman Sejarah', sebuah struktur masa dimana manusia telah beralih dari simbol-simbol dalam berkomunikasi dan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan dalam interaksi sosialnya.
Dalam hal lain, menulis pun diibaratkan sebuah upaya memantapkan sebuah bangunan peradaban. Bagaimana bisa kita mengenal Tuhan tanpa Al-Qur'an. Bagaimana bisa kita mengenal Ilmu tanpa Buku. Bagaimana juga kita sebagai bangsa Indonesia bisa mengenal kata 'Merdeka' jika budaya menulis pada saat itu tak dibangun oleh para Pemuda dan Pendiri Bangsa Indonesia. Maka selanjutnya, bagaimana bisa kita mengenal diri kita sendiri tanpa karya-karya tulis pribadi?
Maka, dalam hal lain menulis dapat dimaknai sebagai upaya menyambungkan kembali puing-puing sejarah dalam kedirian kita yang semakin hari akan berangsur hilang ditelah Entrofisitas. Merangkaian kembali cerita atau kisah tentang kedirian sebelum dimakan kenangan. Dan memantikan kembali ingatan dunia bahwa ada seseorang yang pernah terlahir dan memberikan sumbangsihnya terhadap dinamisnya dunia yang tanpa belas kasihan. Dan ia adalah Anda. Anda yang ada dalam karya Anda, untuk menjadi Ada!
Bagiku, menulis adalah sebuah proses monolog antara pikir dan hati manusia. Bagaimana tidak, menulis bagiku adalah sebuah metode untuk mengenal kedirian. Kedirian seorang aku, seorang manusia. Mengenal apa saja elemen yang ada dari diri, sehingga mampu mengoperasikan potensi diri untuk sebuah manfaat. Baik itu untukku pribadi, dan baiknya, menjadi sebuah kemanfaatan bagi yang lain.
Tak hanya itu, bagiku pun menulis tak lain adalah membaca. Point-nya, menulis adalah upaya membaca apa yang ada dalam pikiranku. Karena sadar ataupun tidak disadari, bukanlah sebuah hal yang mudah untuk menafsirkan apa yang kita pikirkan kita. Sekalipun, pikiran itu sendiri setiap harinya senantiasa terikat dengan kedirian seorang manusia. Maka, menulis esensinya adalah sebuah practice bagiku untuk senantiasa berupaya memaksimalkan pesan-pesan yang beredar dalam pikiran. Dan setelah itu, pesan yang bersifat 'setengah matang' ini terproses dan terseleksi oleh hati. Dimana nilai-nilai etika, estetika, bahkan nilai logika dari pesan itu sendiri terolah indah disana. Hingga berujung kepada intisari dari pesan yang ada dan juga telah terolah dengan sistematis itu. Ya, saya percaya menulis adalah membaca.
Dalam perspektif lain dengan wacana yang sama, produk cipta dari struktur dan sistem yang berjalan mulus antara pesan dalam pikirian yang mampu diterjemahkan dengan baik, pun dengan pesan yang terseleksi tepat oleh hati, adalah sebuah cikal dari sebuah karya yang berkualitas. Jika banyak seniman berkata, "Berkaryalah dengan Hati", maka, kalimat itu adalah sebuah kalimat yang terperas dari hasil berjalannya sebuah proses yang sebelumnya telah saya terangkan. Karena, tidaklah mungkin hati berdikari untuk menelurkan sebuah produk pikir tanpa adanya intervensi dari pikiran itu sendiri. Pikiran atau logika itu telah bekerja sebelum hati berperan lebih jauh dalam segi eksekusi penilaian. Begitu menurutku, entah benar atau tidak. Entahlah...
Menulis Untuk Sebuah Peradaban
Peradaban mutakhir yang kita nikmati saat ini adalah implikasi dari kemampuan membaca dan menulis oleh manusia. Ataupun, zaman dimana kita hidup sekarang disebuat 'Zaman Sejarah', sebuah struktur masa dimana manusia telah beralih dari simbol-simbol dalam berkomunikasi dan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan dalam interaksi sosialnya.
Dalam hal lain, menulis pun diibaratkan sebuah upaya memantapkan sebuah bangunan peradaban. Bagaimana bisa kita mengenal Tuhan tanpa Al-Qur'an. Bagaimana bisa kita mengenal Ilmu tanpa Buku. Bagaimana juga kita sebagai bangsa Indonesia bisa mengenal kata 'Merdeka' jika budaya menulis pada saat itu tak dibangun oleh para Pemuda dan Pendiri Bangsa Indonesia. Maka selanjutnya, bagaimana bisa kita mengenal diri kita sendiri tanpa karya-karya tulis pribadi?
Maka, dalam hal lain menulis dapat dimaknai sebagai upaya menyambungkan kembali puing-puing sejarah dalam kedirian kita yang semakin hari akan berangsur hilang ditelah Entrofisitas. Merangkaian kembali cerita atau kisah tentang kedirian sebelum dimakan kenangan. Dan memantikan kembali ingatan dunia bahwa ada seseorang yang pernah terlahir dan memberikan sumbangsihnya terhadap dinamisnya dunia yang tanpa belas kasihan. Dan ia adalah Anda. Anda yang ada dalam karya Anda, untuk menjadi Ada!