Berlian Semua Rasa I

Berlian Semua Rasa I



Pada suatu sore yang cerah di minggu pertama bulan Agustus tahun 1969 seorang anak berusia sembilan tahun tengah asyik bermain kelereng di halaman rumahnya. Ia melempar bola kaca seukuran jari anak-anak itu ke sana kemari, kemudian mengumpulkannya kembali. Wajahnya sumringah sesekali, tapi pada akhir permainan, ia kehilangan wajah kecil sumringahnya itu.

Kakek si anak kecil itu tengah duduk santai di teras rumah, ditemani secangkir kopi hitam pekat dan sepiring goreng pisang. Goreng pisang itu masih panas, terlihat jelas dari kepulan asap yang melayang-melayang di atas gorengan itu. Si kakek sibuk memerhatikan mentari sore, sampai-sampai rengekan cucunya yang tadi asyik bermain kelereng itu tak diindahkannya. Si kakek masih saja memerhatikan mentari senja dari teras rumah.

Si anak kecil yang sedikit kesal dengan ulah kakeknya, berjalan mendekat. Ia memungut kelereng miliknya yang masih berserakan sebelum akhirnya duduk di samping si kakek yang tengah asyik memandang mentari senja sore itu.

"Kakek...", panggil si anak kecil.

Kakek tak memberikan respon pada panggilan cucunya. Tangannya meraba-raba piring, mencari goreng pisang.

Sekali lagi, si anak kecil memanggil kakeknya, "Kakek!"

Dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, si anak kecil itu berhasil mengalihkan perhatian kakeknya. Ia hanya sedikit senang. Kekesalannya pada si kakek masih menggunung.

"Ada apa? Sudah selesai bermain kelerengnya, nak?", ujar kakek. Kemudian diketahui bahwa nama si kakek adalah Tariman, seorang veteran perang kemerdekaan.

"Kelereng putih kesayanganku hilang, kek. Ayo bantu aku mencarinya...", rajuk si bocah kecil. Ia menarik lengan Tariman.

Tariman oleng, ia hampir terjatuh. Meski tua, tenanga Tariman terlampau besar untuk ditandingi oleh cucunya itu. Ia kembali pada posisinya -duduk manis di samping piring goreng pisang.

"Untuk apa dicari lagi? Bukankah tadi kau bilang kelereng itu hilang?", tanya Tariman, kemudian ia tersenyum simpul pada cucunya yang merajuk.

"Aku tidak mau kehilangan kelereng itu. Aku membelinya dengan uang sakuku sendiri, kek. Aku ingin mencarinya. Kelereng putih itu terlampau berharga, aku takut tak dapat bermimpi karenanya", rajuk si anak kecil lagi.

Si kakek tersenyum. Sejurus kemudian ia membetulkan posisi duduknya, menghadapkan wajah senjanya pada si cucu.

"Benarkah kelereng itu sangat berharga untukmu, nak? Aku yakin kau  tetap bermimpi nanti malam meski kelereng itu tak lagi bersamamu"

"Ah, percuma saja berbicara denganmu, kek. Aku akan mencarinya sendiri"

"Hahaha...Kau selalu seperti itu, nak. Jika kelereng berharga itu tak lagi bersamamu, kenapa tak kau hadirkan lagi saja kelereng berharga yang lain? Kemarilah, kakek ingin melihat kelereng-kelerengmu..."

Si anak kecil duduk di samping si kakek. Ia mengeluarkan kelereng-kelereng miliknya dari saku celana. 

Si kakek tersenyum, ia menerima kelereng-kelereng itu, lalu mengambilnya satu persatu.

"Lihatlah, apa perbedaan kelereng ini dengan kelereng yang hilang itu?"

"Kelereng itu berharga, yang ini tidak"

"Hanya itu saja?"

"Ya. Hanya itu"

"Jika kelereng ini tak berharga, kenapa kau menjaganya?"

Anak kecil itu tidak menjawab pertanyaan kakeknya. Ia menggaruk ubun-ubunnya, berpikir keras. Mengapa ia menyimpan kelereng yang tak berharga setelah kelereng berharga miliknya hilang? Anak kecil itu ternyata tidak mengetahui jawabannya. Ia menggelengkan kepala sekali. Kemudian angkat bicara.

"Karena kelereng-kelereng itu milikku..", jawab si anak kecil sekenanya. Ia benar-benar tidak tahu alasannya.

"Baiklah. Simpan semua kelereng milikmu baik-baik. Mereka berharga, hanya kau terlalu mengistimewakan kelereng putihmu itu. Ingatlah, nak, bila kau menghargai sesuatu milikmu meskipun kecil, benda itu akan berharga bagimu. Tak peduli apapun, berharga atau tidak itu tergantung kau menganggapnya...", si kakek menjelaskan panjang lebar. Ia tersenyum.

"Dan setelah kehilangan, kau akan mengetahui kepedihan. Pelajari apapun dari kepedihan, nak", si kakek menutup percakapan sore itu. Ia melahap goreng pisangnya, lalu menyodorkan isi piring itu pada cucunya.

Si anak kecil kebingungan. Sore itu, ia belum mengerti apa yang diucapkan kakeknya, namun ia akan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama