Oleh: Nizar Fahmi
Empat Mangkuk Bubur
Asap mengepul jelas di atas mangkuk. Pasti masih panas. Tidak mungkin kusentuh dengan tangan telanjang. Bukan hanya karena panas, melainkan etika. Bila kusentuh dengan jari-jari ini, guruku otomatis akan membuangnya. Seperti waktu itu. Etika tidak pernah dirasakan, ia bersemayam di dalam hati. Etika mungkin saja disebut sebagai al-ma'ruf; kebaikan yang berdasar budaya.
Mengenai empat mangkuk bubur itu, aku tidak menyukainya. Aroma yang mengepul di atas mangkuk-mangkuk itu tidak sedap. Aku membencinya. Sebenarnya tak ada yang kubenci dari empat mangkuk bubur di hadapanku, malah sangat menggiurkan. Tetapi, daun bawang yang ditaburkan di atasnya membuatku mual. Alasan, satu hal ini tak begitu penting jika aku tidak memakan salah satu dari empat mangkuk bubur. Aku memakan daun bawang itu jika ia dimasak bersama kentang; sup kentang. Lalu aku membencinya jika ditaburkan di atas bubur. Mentah dan aromanya yang menyengat mengaburkan seleraku begitu saja.
Di meja ini, aku duduk bersama kedua orang temanku. Kami belum saling bicara. Salah satu di antara kami asyik mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia duduk di sebelah kanan guru. Temanku berpakaian merah duduk di sebelah kiri guru. Ia baru saja tiba dari luar kota. Aku, aku duduk berhadapan dengan guru. Ini posisi yang beliau sediakan untuk kami. Tidak pernah berganti, bahkan sekalipun. Untuk beberapa hal, kami mengerti apa yang guru kami ajarkan. Namun untuk yang satu ini, rasanya sulit bagi kami untuk memahaminya. Intinya, guru tidak senang jika posisi duduk kami berubah setiap kali makan.
"Menu makan sore ini ternyata bubur, ya?", temanku berpakaian merah membuka percakapan. Namanya Khoirul. Pemuda asal Cianjur ini sangat mencintai bubur.
"Seperti yang kau lihat. Guru memang selalu mengganti menu makan pagi dan siang. Tapi pada kondisi tertentu, beliau akan menyajikan makanan yang sama", Arman, temanku yang sedang mengeringkan rambutnya angkat bicara. Ia adalah temanku yang paling hafal masakan dan jadwal masakan guru kami.
"Kau fasih menghafal hal ini. Aku yakin guru akan senang mendengar hal ini", ujarku. Percakapan semacam ini biasa kami lakukan sebelum makan, terutama saat menunggu kedatangan guru.
"Tidak, temanku. Beliau akan sangat marah jika aku hafal menu makan pagi dan sore di rumah ini. Aku pernah dimarahi olehnya. Menurut guru aku telah menghafal hal yang tidak berguna", Arman menjawab ungkapan kekagumanku dengan jawaban yang membuatku tercengang.
"Aku tidak menyangkanya", giliran Khoirul menimpali ucapan Arman.
Aku dan Khoirul sama-sama terkejut.
Meski terkadang guru kami melakukan hal-hal aneh, namun rasa hormatku padanya tidak berkurang barang sedikit. Aku tak memiliki alasan. Ketika hatiku berkata bahwa lelaki paruh baya yang rumahnya dipakai tempat berteduh olehku ini adalah guruku, saat itu pula lah aku memanggilnya guru. Lelaki paruh baya yang bekerja sebagai tukang ojek ini mengajariku ilmu yang tidak diajarkan oleh guru SMP, SMA bahkan Dosen di kampusku sekalipun. Singkatnya, lelaki ini adalah guru yang sebenarnya.
"Ya. Begitulah guru kita. Meski terkadang sulit dimengerti, tapi aku akan tetap menghormatinya dan menimba ilmu darinya", ujarku. Aku terlepas dari rasa terkejutku.
"Ia adalah guru yang sebenarnya. Bukan Guru-guruan. Selama sekolah, sejak SD hingga kuliah, banyak orang telah menjadi guru-guruan dan mengajariku ilmu-ilmuan. Namun untuk lelaki ini, aku yakin ia adalah guru yang sebenarnya", Arman melanjutkan perkataanku tentang guru kami.
"Aku sangat setuju dengan kalian. Guru adalah orang yang mengajari kita, lalu kita akan menyerap ilmu darinya. Kemudian meneruskan warisannya, bukankah begitu, kawanku?", kali ini giliran Khoirul yang nimbrung dalam percakapan ini.
Tak kusangka kami memiliki pemahaman yang sama tentang lelaki ini. Sangat jarang terjadi.
"Tapi jangan sekalipun kamu memanggilnya dengan sebutan guru. Pak Karta pasti marah", Arman menutup percakapan.