Berlian Semua Rasa III

Berlian Semua Rasa III


Sejauh Ia Terbang, Ia Pasti Kembali


Satu bulan

"Selamat ulang tahun yang ke-1 bulan, sayang. Mudah-mudahan selamanya, ya"

Tak perlu kuakui, dan aku tak ingin mengakuinya. Jika kuakui, aku akan merasa ada sesuatu yang hilang hari itu. Aku tak ingin hal itu terjadi, meskipun aku yakin itu telah terjadi.

Enam bulan

"Jangan sampe putus, ya. Ini pertama kalinya aku menjalin hubungan spesial dengan seseorang melebihi tiga bulan hehehe..."

Untuk yang satu ini, jangankan mengakui, mengetahuinya pun aku tak ingin. Pertama aku sudah mengakuinya meskipun seperti diperkosa, dan kedua, aku sudah mengetahuinya. Mungkin hanya berpura-pura tak tahu ungkapan ini pernah kuucapkan adalah jalan keluar terbaik bagiku.

Bagaimanapun, aku sudah pergi sejauh ini. Dia sedang mencari kebahagiaannya.

Sebelas bulan

"Kalo putus, cincin ini akan aku kembalikan!", ujarnya dengan nada yang sedikit tegas, setelah itu memalingkan wajahnya dariku.

Mungkin ini awal permasalahan.

Aku terlalu banyak tidak tahu, dan perlu aku akui bahwa aku pun terlalu menutup diri pada apapun, kecuali pada kakek. Kakek biasanya tahu inti permasalahan jika aku bercerita padanya, tapi kali ini, ia tak dapat kutanya lagi. Ya, kakek sudah pulang beberapa tahun yang lalu. Terhitung lima tahun dengan hari ini. Aku sedih? Mungkin seperti itu.
Wanita itu, wanita itu bukan sumber masalah. Ia hanya sedang berkembang. Ia sedang mencari pijakan. Ia tengah meniti langkah, mungkin ia sesekali menemukan beberapa lubang. Tidak jarang ia terperosok, dan aku belum mampu menolongnya. Ia Sedang berkembang pesat, aku memahami itu.

Sesekali aku memanggilnya 'bocah'. Panggilan itu aku berikan padanya beberapa bulan ke belakang. Malah, pada suatu malam, aku menamainya Burung Hantu. Entah untuk alasan apa, aku menyukainya. Mungkin terlalu sukar untuk mencintai sepenuhnya.

Pertengkaran biasa terjadi dalam sebuah hubungan. Aku mengalaminya. Kami tengah mengalaminya. Bersama-sama, aku dan dia terus melewati pertengkaran demi pertengkaran. Lalu ia tetap bertahan untuk meyakinkanku dan dirinya bahwa aku berbeda dariku dahulu.

Kemudian, ia tak pernah bertanya atau meminta apapun padaku. Sesekali ia menangis. Ia terlalu diam, namun saat diajak bicara ia akan menjadi dirinya sendiri dengan gaya bicaranya yang cepat, tidak jarang menjurus ke cerewet. Aku menyukainya ketika bicara, tapi belum mencintainya. Aku memberikannya pernyataan palsu tentang cinta, lalu ia tetap bertahan.

Aku tak pernah bertanya untuk apa ia bertahan denganku selama ini atau untuk ia masih menerima keberadaanku dalam hidupnya. Aku tak pernah memberikannya kebahagiaan sekalipun. Bagiku, kebahagiaan hanya di dalam hati. Mungkin ia meyakininya sama sepertiku. Aku menuntut diriku sendiri memberikan kebahagiaan padanya, lalu aku malas mengeksekusinya menjadi kebahagiaan.Hingga ia mempersiapkan kebahagiaannya sendiri, dengan membawaku dalam rencananya.

Menjelang satu tahun, kami tidak bertemu. Aku tak ingin menemuinya. Hadirku takkan bahagiakannya, tidak begitu sebaliknya. Ia pergi bersama beberapa orang temannya ke suatu tempat, bermaksud merayakan hari ulang tahunnya. Tentu saja tanpa melibatkanku sebagai kekasihnya. Tapi tak apa, itu harapanku padanya agar ia mencari kebahagiaanya sendiri.

Kami akhirnya bertemu satu hari setelah ia berulang tahun. Di luar prasangkaku sebelumnya, kami bertengkar. Pertengkaran percuma. Kami menghabiskan tenaga dengan bersilat lidah, beradu argumen satu sama lain. Lalu hasilnya ia menangis. Aku tak tahu pertengkaran apa yang terjadi di antara kami.

Aku tidak merasa bersalah. Jiwaku telalu dingin setelah kematian kakek.

"Kamu ingin aku seperti apa?", ujarnya. Ia menahan tangis sore itu.

"Pikirkan saja sendiri!", aku berseru keras di antara deru jalanan. Kami sedang mengendarai motor.

Ia menahan tangisnya yang kedua. Tangan kecilnya mencubit-cubit kecil punggungku. Ia tak lagi berkata-kata, hanya diam sore itu.

Aku mengantarkannya ke rumah. Aku seolah tak mengenalnya sore itu. Mungkin dengan dinginnya diriku padanya. Kemudian aku pulang.

Aku tak ingin mengakui hal ini, namun ia pernah berkata; "Aku takkan meninggalkanmu. Buku itu, jika kuberikan padamu, kemudian kau membuat perpustakaan seperti yang kau idamkan selama ini, kau akan mengingatku hanya dengan melihatnya. Aku menyayangimu, tapi untuk kebahagiaan itu, aku akan mencarinya di dalam hatiku."

Terima Kasih
Dibuat : 20 Oktober 2013

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama