Awal abad ke enam belas. Pelabuhan-pelabuhan penting Kerajaan Sunda Kelapa di bagian pantai utara sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak dan Kesultanan Banten. Merasa khawatir peranan pelabuhan milik Sunda Kelapa melemah, Raja Sunda Sribaduga atau Prabu Siliwangi mengutus putera mahkotanya, Surawisesa untuk berdiplomasi mencari bantuan. Pilihannya, Portugis, penguasa Malaka. Maka diplomasi berjalan bersama komandan benteng Malaka, Jorge d’Albuqurque. Hasil diplomasi tersebut diabadikan dalam prasasti Padrao Sunda Kelapa. Sejarah ini dilansir dari Wikipedia.co.id, portal ensiklopedi berbahasa Indonesia.
Sang Hyang Surawisesa, seperti yang ditulis oleh Tome Pires dalam Suma Oriental, menjadi orang Nusantara yang pertama kali menjalin hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Masyarakat Sunda, menurutnya, merupakan masyarakat yang punya budaya jujur dan pemberani.
Ketua paguyuban Riungan Ki Sunda (Riksa) Ruhi Rauhullah Attaqy mengatakan, orang Sunda adalah orang yang menjunjung tinggi nilai sopan santun, kerendahhatian, dan penghormatan terhadap orang lain. “Budaya Sunda mesti dikenal lebih jauh bukan hanya sebagai ekspresi dari tradisi-tradisi yang sifatnya seremonial seperti pakaian adat dan kesenian-kesenian. Lebih jauh lagi, budaya Sunda meliputi nilai-nilai universal lain yang mencakup kepribadian atau akhlak umat manusia, seperti someah (ramah) dan handap asor (rendah hati),” ujarnya, Senin (2/6), di Toko Buku Kebul.
Seperti diketahui bersama, dalam tataran masyarakat Sunda dikenal etos kebudayaan, ‘cageur, bageur, singer, pinter’ atau sembuh, baik, kuat, dan cerdas. Kemudian, dalam hubungannya sesama umat manusia, dikenal juga sikap ‘silih asih, silih asah, silih asuh’. Saling mengasihi, saling mengajari, dan saling menjaga. Etos-etos seperti inilah yang menjadi nilai universal yang mesti dijaga oleh masyarakat tatar Sunda, khususnya Bandung, sebagai salah satu kota peradaban Sunda.
Berbicara mengenai kebudayaan Sunda di kota Bandung, budayawan dan seniman Sunda Big Dado Firmansyah mengungkapkan, orang Bandung harus bersiap untuk kehilangan jati dirinya. “Bandung adalah kota dimana di sana terdapat akulturasi dari berbagai macam budaya. Maka sebagai pribumi, kita benar-benar harus mempertahankan bagaimana budaya Sunda ini bisa dijaga dan tetap dilestarikan,” ungkapnya kepada Dejavu, Senin (2/6).
Budaya Sunda sendiri merupakan budaya yang mampu menjawab dan menghadapi tantangan zaman yang semakin sukar untuk ditaklukan. Lanjut pria bernama Muhammad Ihsan Firmansyah ini, orang Sunda sendiri merupakan orang yang lidahnya dapat menguasai dan fasih berbicara dalam berbagai dialek dan bahasa. Ini menjadi salah satu keistimewaan masyarakat Sunda dalam bidang bahasa. Meski di balik keistimewaan itu terdapat satu kekurangan dimana orang Sunda terbilang sulit untuk menghilangkan logat atau dialek Sundanya ketika berbicara bahasa asing.
“Dalam bidang kebudayaan praktis atau tradisi-tradisi kesnian Sunda seperti Karinding, tarian Jaipong, dan seni Ibing Penca sudah berbicara jauh di kancah nasional saat ini. Bahkan sudah lebih mendunia. Jadi tidak perlu khawatir akan kancahnya dalam persaingan global ini. Yang perlu dikhawatirkan adalah ketika orang-orang Sunda terlalu menikmati perkembangan zaman dengan filter yang tidak seimbang. Sehingga muncul istilah ‘Jati Kasilih Ku Junti’, yang bisa diartikan dengan ‘kenikmatan yang telah kehilangan esensinya’,” jelasnya.
Budaya Pasti Mati
Peneliti Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kota Bandung Agus Heryana mengungkapkan, kekhawatiran terhadap keberlangsungan budaya dari dulu sampai sekarang terbilang tidak jauh berbeda. “Hitung saja dari tahun 1920 hingga sekarang, masalah yang muncul perihal budaya itu sama, yaitu kekhawatiran akan tergilasnya budaya daerah dengan budaya-budaya yang baru. Budaya itu dinamis. Maka persinggungan antara budaya daerah dengan perkembangan zaman modern tidak dapat dihindarkan,” jelas Agus pada Dejavu, Rabu (4/6), di kantor BPNB, Jalan Cinambo No. 136, Bandung.
Secara kasar, ungkap Agus, budaya itu pasti mati. “Saya sering mengibaratkan bahwa budaya itu seperti manusia, hidup. Dan yang namanya hidup itu pasti akan mengalami kematian. Karena tiada yang abadi selain Tuhan. Ambil saja contoh budaya berpantun dalam tradisi Sunda. Hari ini masih ada apa tidak? Kalau disadari sudah tidak ada, berarti itu salah satu ciri dari kematian,” ujarnya.
Agus mencontohkan, banyak sekali tradisi-tradisi dalam kebudayaan Sunda yang hari ini tidak dikenal masyarakat atau bisa dikatakan sudah mati. Leumpang Gengsor, Epok Cendol, Geboy merupakan khazanah budaya Sunda yang sudah tidak diperkenalkan lagi pada masa kini.
Melestarikan Budaya Sunda
Ketika disadari bahwa budaya itu akan mati, tambah Agus, langkah yang perlu dilakukan kita sebagai orang yang merasa bertanggung jawab akan keberlangsungan budaya ialah untuk memperpanjang usia budaya tersebut. “Kita mencoba berupaya untuk mencari nilai-nilai yang bisa dijadikan acuan hidup. Minimal jadi inspirasi untuk orang-orang. Kemudian dikembangkan menjadi budaya yang baru. Budaya itu kan perbuatan manusia. Di dalamnya terkandung berbagai aspek. Bahwa budaya ada yang benar da nada yang salah. Tugas kita memilah-milah, mana yang perlu dipertahankan atau tidak. Kalau itu buruk, bagaimana kita mengemasnya menjadi baik. Tugas kita bersama ya.. seperti itu. Ada transformasi dan perubahan,” jelasnya.
Dalam hal memperpanjang usia budaya, Big Dado pun angkat bicara. Siapapun yang ingin melestarikan nilai-nilai budaya, yang penting diawali dengan perkenalan terlebih dahulu. Dalam istilahnya, wono heula. “Sebaiknya seorang mahasiswa atau siapa pun ketika ingin melestarikan budaya sunda tersebut. Ya kenali dulu, jangan sampai hanya ikut-ikutan. Ya.. mungkin itu bisa menjadi awal. Bisa dengan pakai iketnya dulu, pakai pangsinya dulu. Kalau diruntut alurnya, mungkin seperti ini. Kenali dulu, menonton, apresiasi, plagiasi, menjadikan, mencintai, dan terakhir budaya Sunda tersebut menjadi mibanda miboga,” pungkasnya. [] Kru Liput: Agnia Ilma, Inggit Olyvianti