“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan..” Nampak Allah Swt. dengan tegas berfirman dalam Qur’an Surah Al-Hujuraat ayat 13. Manusia itu terdiri dari dua jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan. Keduanya merupakan sesempurnanya penciptaan.
Al-Qur’an dengan ideal memang berbicara tegas tentang hal ini. Tapi pada kenyataannya, tidak bisa kita elakkan, bahwa penyerupaan laki-laki atas perempuan atau sebaliknya memang ada. Dan itu banyak. Kita kenal mereka dengan sebutan banci atau waria.
Berbicara tentang hal ini, psikolog Lia Dinnia mengatakan, hal ini wajar karena dipertimbangkan atas beberapa hal. Sebelum menghakimi waria dengan penilaian-penilaian yang tak berdasar, seharusnya dilihat dulu faktor-faktor penyebab seorang pria menjadi waria.
“Dilihat dari sisi psikologis-nya, mengapa seseorang seperti itu (waria) dalam artian lain, laki-laki seperti perempuan, perempuan seperti laki-laki, itu terjadi karena beberapa faktor. Yang pertama, terdapat dari proses yang salah dalam identifikasinya selagi kecil. Permasalahan kedua, orang itu bisa jadi merupakan korban dari pelecehan seksual, yang ia merupakan korban pemerkosaan sesama jenis,” jelas Lia saat ditemui Dejavu pada acara Seminar Stop Pelecehan Seksual, Kamis (29/5), di MA Persis Katapang, Kabupaten Bandung.
Atau bisa jadi, tambah Lia, waria tersebut merupakan orang yang pernah menikmati kegiatan seks dengan sesama jenis. Hal itu dirasakan dalam kurun waktu yang lama. Bahkan menjadi sebuah candu, ketika pria tersebut sudah sampai menjadi seorang yang dewasa. “Karena kita lihat, kebanyakan waria itu adalah orang yang memiliki kelainan seks,” ujar psikolog sekaligus konsultan anak, remaja, dan keluarga di PGTK Family Fest ini.
Dadang Ahmad Fajar, terapis sufi mengungkapkan, orang-orang dengan kelainan jiwa seperti itu perlu didekati secara baik. “Mereka (waria-red) tidak mesti diabaikan malah mesti dirangkul. Karena proses mengajak kepada kebenaran berlaku bagi setiap umat manusia.”
Proses mengajak itu pun perlu disesuaikan tergantung pada proporsinya masing-masing. “Ajakan terhadap kebaikan bisa dilakukan dengan cara-cara yang humanis. Menyentuh unsur kemanusiaan mereka, tidak dengan cara-cara yang brutal. Karena proses seperti inilah yang sebenarnya lebih efektif,” ujarnya.
Kategori:
Artikel