Mereka masih sangat muda. Umurnya masih belum belasan tahun. Kebanyakan masih bersekolah, kalau sekarang SMP dan SMA. Sebagian lagi mahasiswa. Ada pula para pemuda yang karena keadaan, tidak lagi berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa.
Dalam usia belia mereka sudah ditakdirkan oleh sejarah untuk terjun ke medan perjuangan. Dengan peralatan seadanya, tekad dan keberanian yang membaja –terkadang lebih tepat disebut nekat –mereka melawan musuh, Waupun sebenarnya hal tersebut adalah bercanda dengan kematian. Seragam dan senjata musuh menjadi tropy yang mereka dambakan.
Begitulah, kenang Rais Abidin, seorang Letnan Jenderal Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI)-Angkatan Darat (AD) dalam sambutannya, pada penerbitan buku Tiada Berita dari Bandung Timur. Buku tersebut merupakan karya pejuang veteran dari Front Bandung Timur, R.J. Rusady W. Buku yang sengaja ditulis karena didasarkan pada kekhawatirannya terhadap fakta-fakta sejarah yang tak tertuliskan, bila tak ada yang menulisnya ia akan menjadi kenangan. “Sebagai salah seorang dari mereka yang masih ada, saya merasa wajib dan berhutang budi kepada mereka yang telah gugur di dalam peristiwa itu untuk mengangkat fakta sejarah ini, agar diketahui oleh generasi masa kini maupun masa mendatang,” tulis Rusady dalam bukunya.
Berbicara fakta, kejadian Bandung Lautan Api menjadi momentum terbesar dalam sejarah Kota Bandung. Dikutip dari Tiada Berita dari Bandung Timur, pada bulan Desember 1945 hingga Maret 1946 terjadi pertempuran yang tiada henti-hentinya di Kota Bandung. Terutama, di sepanjang garis Demarkasi (rel kereta api) yang menjadi batas wilayah antara tentara Inggiris di Bandung Utara dan tentara Republik Indonesia bersama laskar-laskar perjuangan di Bandung Selatan.
Pada tanggal 23 Maret 1946, Walikota Bandung Syamsurizal menerima menerima amanat dari Perdana Menteri RI, Sutan Sjahrir tentang pengosongan Kota Bandung dalam radius 11 km, sebagaimana diinginkan pihak Inggris. Esoknya, diadakan perundingan atas instruksi dari Pemerintah RI. Perundingan itu dihadiri Wakil Perdana Menteri RI, Komandan Divisi III Kolonel A.H. Nasution, Walikota Bandung, Gubernur Jawa Barat, Kepala Polisi Bandung, dan lain-lain. Dalam perundingan itu disepakati bahwa rakyat menolak kehendak Inggris.
Tapi, atas kesepakatan lain dan atas instruksi Perdana Menteri Sutan Sjahrir selanjutnya bahwa untuk meloloskan diplomasi pemerintah dengan Inggris, maka Kolonel A.H. Nasution sepakat untuk mengosongkan Bandung. Ia mengambil sikap dan mengumumkan, semua pegawai dan rakyat harus keluar kota harit itu sebelum jam 24.00. Sementara rakyat mengungsi, tentara-tentara membumihanguskan semua bangunan yang ada.
Pada tanggal 24 Maret 1946 tersebut, pihak Inggris menjatuhkan bom di kawasan Tegallega untuk menakut-nakuti dan mencegah rakyat untuk mengungsi. Inggris dan Belanda melakukan penembakan jarak jauh dengan Howitzer ke Ciparay, dan dengan pesawat pembom B-29 membom Majalaya. Kobaran api menjilat berbagai bangunan Kota Bandung disertai dentuman bom, senapan mesin serta Howitzer. Dari peristiwa inilah, istilah Bandung Lautan Api diudarakan.
Kategori:
Artikel