Misteri Batu Kuda di Gn. Manglayang

Misteri Batu Kuda di Gn. Manglayang

Batu Kuda diambil dari angle bawah/ kubangan
Kata “Manglayang” berasal dari kata “layang”. Dahulu kala menurut cerita nenek moyang, seekor kuda yang bisa terbang berasal dari gunung Kidul dikenal dengan nama kuda Semprani sedang melintasi gunung Manglayang dari Cirebon menuju Banten. Saat sedang melakukan perjalanan tersebut sang kuda terperosok disebuah area yang tidak jauh dari titik sanghiyang (kaki gunung). Kuda tersebut terjebak hingga beberapa waktu lamanya sehingga tempat ia terperosok berubah menjadi kubangan.


Kini kuda yang dimaksud adalah dalam wujud batu. Dari bentuk batu yang tampak, kuda tersebut mencoba membebaskan diri kubangan namun apa daya kuda tersebut tetap tidak mampu. Hingga akhirnya penunggang kuda menyerah dan duduk di sebuah kursi yang letaknya tidak jauh dari kubangan kuda tersebut. Nah tempat sang penunggang duduk disebut dengan Batu Kursi. Sedangkan kubangan sang kuda Semprani saat ini dikenal dengan nama Batu Kuda.

Menurut aturan yang berlaku sejak 3-4 tahun yang lalu, setiap hari Senin dan Kamis para pendaki atau siapapun dilarang memasuki area gunung Manglayang karena pada saat itu dipercaya sebagai hari berkumpulnya para leluhur dan kandidat lainnya (ruh). Lalu jika mendaki tidak diperkenankan jumlah orang dalam bilangan ganjil. Norma yang telah ditetapkan oleh pangriksa (sesepuh) sebaiknya ditaati karena hal itu berkenaan dengan keselamatan jiwa seseorang.


Batu Kursi

Namun kejadian buruk yang beraneka ragam telah membuka sebuah perjanjian keakuran antara alam Manglayang dengan manusia. Sekitar 44 sesepuh yang berasal dari Jawa Barat berkumpul untuk melakukan ritual “keakuran” agar kejadian yang sama tidak terulang lagi. Di area Batu Kuda inilah ritual dilakukan berbagai macam upaya telah dilaksanakan dan pada akhirnya membuahkan hasil, 3-4 tahun kebelakang adalah masa akhir dari kegelapan tentang Manglayang.

Kini siapapun boleh mengunjungi Manglayang pada hari Senin dan Kamis, juga boleh dalam hitungan ganjil.
Namun norma mutlak tetap berlaku yaitu tidak memancing keributan dan membuat kerusuhan, menjaga dan memelihara hutan dan gunung. Tidak merusak alam, tidak merusak situs batu dengan mencoret-coret. Menjaga tali keharmonisan dengan alam dan tinggal berdampingan.
Batu Kuda ini hanya berjarak 500 meter dari titik sanghiyang dengan mengikuti jalan yang di arahkan oleh pengriksa. Tidak jauh dari Batu Kuda terdapat Batu Kursi, di batu ini sang penunggang kuda Semprani beristirahat sambil menunggu kudanya yang terperosok di kubangan terbebas, sang penunggang ini bernama Prabu Layang Kusuma/Eyang Prabu dan Eyang Prabu memiliki anak bernama Ratu Sari.

Selain itu terdapat batu lain yaitu Batu Lawang (kembar), biasanya di batu ini orang mengadakan ritual untuk sebuah “niat” dalam arti sebagai gerbang untuk keinginannya tersebut, biasanya orang yang bersangkutan melakukan dzikir.

Untuk mengadakan ritual di sana, orang yang bersangkutan harus ke juru kunci (kuncen) Gunung Manglayang. Juru kunci akan melakukan Depaan (bertapa) untuk menanyakan (kepada ruh) apakah orang yang bersangkutan diizinkan mengadakan ritual atau tidak.

Batu Tumpeng berada di kiri jalan dengan tinggi 12 meter, di dalam batu ini terdapat sebuah celah yang hanya bisa di masuki satu orang, tentunya dengan tinggi dan berat badan ideal. menurut pangriksa di batu tumpeng ini biasanya orang-orang “bersyukur” dalam artian bersyukur atas “niat” yang di kabulkan.
Batu Keraton, menurut mitos batu ini tidak sembarangan bisa di temukan oleh para pendaki ataupun orang biasa dan bersifat mistis (kerajaan). Selain batu-batu yang disebut di atas, di percaya juga gundukan batu yang ada di Gunung Manglayang adalah “prajurit.”

Berikut adalah 4 “tokoh” yang di percaya mendiami Gunung Manglayang :
  1. Eyang Kuda Pawana (Semar)
  2. Raden Krincing Wesi (Gatotkaca)
  3. Se'fosa (Ulama)
  4. Ama Sa'sajaninggi (Petapa)
Kerangka Manglayang menurut Pangriksa adalah
  1. Betis - merupakan kaki gunung
  2. Lawang - merupakan pintu
  3. Cikora - merupakan keraton
  4. Puncak - merupakan mun-munan   
Bersama Pak Epen (kuncen)

Menurut cerita kuncen manglayang, bapak Epen, p
ada tahun 1977 terjadi bencana longsor di gunung Manglayang. Sejumlah 51 rumah rusak, namun tidak ada korban jiwa. Sebelum terjadi longsor, konon untuk pertama kalinya kuda Semprani datang ke Manglayang yang diartikan oleh bapak Epen sebagai peringatan bahwa akan datang bencana longsor di daerah tersebut.

Sesajen yang dipungut Pak Epen dari Gn. Manglayang
Jadwal datangnya kuda tersebut adalah hari Senin dan Kamis sehingga di setiap hari tersebut bapak Epen selalu memberi sesajen untuk makan kuda. Sesajen itu berisi rujak, kopi, dan telur. Tradisi itu dilakukan sejak tahun 1977 hingga saat ini. Tidak hanya orang di sekitar gunung Manglayang yang memberi sesajen, banyak juga orang yang dari luar Jawa dan bahkan ada yang dari negara Arab. Wow.

Mitos memang memiliki kekuatan dan daya tarik tersendiri dimata masyarakat, akan tetapi jangan sampai mitoslah yang menjadi tumpuan dalam menjalankan kehidupan dan kegiatan sehari hari.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama