Televisi : Agama dan Komoditi

Televisi : Agama dan Komoditi

Agama dan Media (Sumber : Google.Com)
Oleh : Rizky Sopiyandi
Ditengah pesatnya perkembangan media, televisi selalu mempunyai tempat bagi masyarakat penikmat informasi. Televisi menjadi media yang mungkin tidak akan lekang oleh waktu. Masyarakat menjadikan media ini sebagai hiburan utama untuk dinikmati keluarga. Dengan berbagai acara didalamnya, televisi menjadi santapan lezat dikalangan masyarakat hari ini.

Sejak John Logie Baird menemukan teknologi ini pada tahun 1920-an, televisi seperti oase ditengah bosannya masyarakat melihat dunianya sendiri.  Bagi masyarakat di Indonesia, stasiun-stasiun televisi dengan program-programnya, setidaknya, mampu memberikan sedikit hiburan bagi tengah-tengah keluarga.

Opini tersebut senada dengan hasil riset Nielsen tentang pengukuran pemirsa televisi dari media 2012 hingga 2014, menunjukkan bahwa sampai saat ini, konsumsi media televisi masih memimpin total konsumsi media, yaitu sebesar 94 persen dari total populasi media konvensional di Tanah Air. Dalam sehari, para penikmat televisi bisa menghabiskan sekitar 4,5 jam duduk di depan televisi, dan 24 persen dari total waktu tonton mereka dihabiskan untuk menonton sinetron.

Lebih lanjut, dalam hasil riset tersebut disebutkan, acara hiburan ―termasuk di dalamnya adalah acara pencarian bakat, komedi, musik, permainan, dan sebagainya— memperoleh porsi tonton terbesar kedua, yaitu sekitar 20 persen atau selama 168 jam selama setahun.

Televisi selalu menjadi pilihan utama masyarakat mengingat fungsi-fungsi nya mampu memberikan suatu hal pada masyarakat. Menurut Charles R. Wright (Wiryanto: 2000), televisi sebagai media massa setidaknya mempunya beberapa fungsi. Pertama, Fungsi penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam lingkungan, baik di luar maupun di dalam masyarakat (Surveillance). Kedua, fungsi yang diidentifikasikan sebagai fungsi editorial atau propaganda (Correlation). Ketiga, fungsi yang diidentifikasikan sebagai fungsi pendidikan (Transmission). Dan yang terakhir, kegiatan-kegiatan komunikatif yang dimaksudkan untuk memberikan hiburan tanpa mengharapkan efek-efek tertentu (Entertainment).

Fungsi yang terakhir faktanya sangat berpengaruh pada masyarakat. Program televisi berbasis hiburan memang tak bisa lepas dari imej televisi itu sendiri. Sekalipun, tak bisa kita nafikan, televisi sebagai media massa mempunyai kewajiban untuk memberikan fungsi Informatif, edukatif, dan propaganda didalamnya. Hal ini pula yang menjadikan fungsi entertaining senantiasa menempel pada setiap fungsi lainnya.

Namun pada perkembangannya, televisi dengan setiap produk-produknya mengalami alih fungsi. Televisi hari ini tidak hanya berbicara fungsinya kepada masyarakat, lebih dari itu, stasiun-stasiun televisi tentunya mempunya agenda dibalik fungsi-fungsi tersebut.

Dengan dalil pasar, acara televisi yang dirancang untuk tujuan edukatif, nyatanya selalu dipaksakan untuk dikemas secara entertaining, begitu pula dengan rancang bentuk program yang lainnya. Semua harus berkemasan entertaining, harus terhadap sisi hiburan, demi menarik minat penonton. Termasuk, saat menayangkan program siaran keagamaan. Agama dalam wajah televisi harus berlandaskan hiburan, sekali lagi, demi menarik perhatian penonton.

Agama dalam Program TV di Indonesia
Islam sebagai agama terbesar yang dianut masyarakat Indonesia tentu saja menjadi komoditas tersendiri dalam pandangan media massa. Media massa, dalam hal ini stasiun-stasiun televisi, berlomba untuk menarik perhatian masyarakat Islam di Indonesia dengan program-program berlabelkan Islam yang dikemas dengan berbagai bentuk. Tak sedikit kita saksikan, bagaimana para mpunya stasiun televisi menjadikan acara keagamaan dalam berbagai bentuk program yang entertaining; baik itu aktifitas Dakwah Islam, hingga dalam bentuk sinetron.

Program televisi dengan label acara dakwah tak lagi menjadi barang langka. Sebagai contoh, Trans TV dengan acara “Islam itu Indah” yang dibawakan Ustadz Maulana, SCTV dengan “Kata Ustadz Solmed” yang dibawakan oleh Ustadz Sholeh Mahmud, kemudian TV One dengan “Damai Indonesiaku” yang dibawakan dengan beragam Da’I atau Ustadz, demikian juga stasiun Televisi lainnya.

Program Dakwah di Televisi Indonesia (Sumber : Google.Com)

Tayangan dakwah dan keagamaan di televisi tidak sekedar dikemas dalam bentuk dakwah verbal saja, melainkan juga dalam sinetron, iklan, dan lainnya. Tampak dari beberapa stasiun televisi yang menyajikan sinetron dengan genre religi di waktu-waktu utama (prime time), seperti Tukang Bubur Naik Haji di RCTI, Hikmah Ilahi Tafakkur di MNCTV, dan Pesantren Rock and Roll dan Ustadz Fotocopy di SCTV.

Kesan sinetron religi yang hanya marak pada bulan Ramadlan, dewasa ini tidak berlaku lagi. Selama program yang disajikan meraup keuntungan bagi stasiun televisi, maka selama itu program akan ditayangkan. Hal ini menujukkan bahwa tayangan berlabelkan agama, khususnya Islam,  cukup menjadi pertimbangan stasiun televisi swasta dalam menyusun sebuah program. Walaupun secara proporsi tidak dominan dibanding acara yang lain, tayangan dakwah dan agama dipandang sebagai salah satu komoditi yang menghasilkan revenue yang bersumber dari iklan bagi media swasta.

Dengan dalih mengejar rating dan share, penyimpangan tujuan penyiaran tersebut diabaikan. Menjadi ironis mengingat tujuan televisi yang diperuntukan sebagai media yang mampu memberikan fungsi pendidikan bagi masyarakat ke arah yang lebih baik seringkali berbenturan dengan kepentingan bisnis yang diusung stasiun-stasiun televisi. Program sinetron religi yang diharapkan dapat menjadi wahana pengembangan nilai-nilai keimanan masyarakat, khususnya masyarakat muslim di Indonesia, justru melahirkan nilai-nilai yang kontraproduktif.

"Tukang Bubur Naik Haji The Series", Sinetron Religi Indonesia

Jika kita perhatikan, tayangan sinetron religious hari ini memang tidak terlepas dari kecerdikan produsennya didalam membidik rasa penasaran dan kebutuhan hiburan pemirsanya yang sebagian besar umat Islam. Kendati demikian, banyak yang menyayangkan, seringkali tayangan program-program siaran religius itu menyimpan persoalan tersendiri.

Bagi para pembuat program televisi, Agama memang kemasan yang menarik untuk disajikan kepada khalayak. Agama tak lagi menjadi nilai yang sakral karena seringkali dibenturkan dengan kapitalisme yang dikampanyekan stasiun-stasiun televisi. Maka, diperlukan daya analisa masyarakat yang canggih dalam menyikapi hal ini.

Masyarakat perlu disadarkan bagaimana Agama dijadikan realitas yang bersifat “seolah-olah”. Agama harus senantiasa menjadi sebuah nilai yang sakral. Bukan hanya bermodalkan aspek hiburan dan kepentingan ekonomis yang senantiasa mengiringi didalamnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama