Menemu Tuhan di Jalan (Jilid I)

Menemu Tuhan di Jalan (Jilid I)

 (Catatan Perjalanan Seorang Pemuda Tolol)
Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti


     Hanya angin pagi yang mendampingiku di depan stadion Persib, yang terletak di jalan Ahmad Yani Bandung. Mobil yang lalu lalang, dan manusia-manusia yang siap untuk bekerja aku acuhkan. Dalam duduk tanpa kata, aku sulut sebatang rokok agar udara pagi tidak terlalu dingin dan menusuk tulang, lalu sesekali aku membuka handphone untuk sekedar melihat jam atau mungkin pesan singkat dari kawan-kawan kampus. Bukan tanpa alasan aku diam di pinggir jalan seperti ini, tetapi aku sedang menunggu bus yang biasa mengangkutku ke kampus di daerah Cibiru.
     Sudah lebih dari satu jam aku duduk dengan hanya bertemankan rokok, namun bus yang ditunggu belum juga datang. Rasa kesal memang sedikit menyelinap di dada, namun kesabaran kuusahakan agar tetap ada. Itu prinsipku. Kata orang, menunggu adalah hal yang begitu memuakkan, dan membutuhkan tenaga melebihi ketika mengangkat beban yang amat berat. Tapi menurutku, menunggu mungkin menyebalkan, namun sekaligus mengasyikan. Banyak sesuatu yang bisa aku dapatkan dalam masa menunggu itu, setidaknya dapat melihat atau merasakan apa yang ada di depan mata.
     Benar saja, entah kenapa ada rasa sakit menjalar di hati, ketika seorang kakek yang tubuhnya telah berbentuk huruf L terbalik sedang mendorong rodanya di depanku, begitu pelan ia mendorong roda yang mengangkut barang dagangannya, sayuran. Benakku mengira kalau kakek ini kurang lebih berumur 70 tahun karena sudah terbongkok-bongkok, kusut masai wajahnya, keriput kulitnya, kuyu cahayanya, muram dan redup matanya, hitam pancarannya, remuk redam seluruhnya, dan membungkuk seluruh badannya, entah kepada siapa gerangan ia sedang menyembah?
     Saat aku melihatnya hendak menyebrang, aku beranjak dari duduk dan berlari kecil ke tengah jalan. Kendaraan-kendaraan yang hendak menderukan mesinnya kencang-kencang, kuhentikan dengan kedua tangan, tujuanku agar si kakek itu bisa melintasi jalan dengan leluasa. Aku sungguh kasihan melihatnya.
     Melihat orang lansia seperti ia yang masih tetap setia dalam kerja, aku selalu bertanya dalam hati, “Apakah mereka tak punya anak? Apakah mereka tidak diurus oleh anak-anaknya? Atau mungkin mereka adalah orang yang terbiasa kerja keras dan tak ingin menjadi beban orang, meskipun itu anaknya sendiri?” entahlah.
     Sepertinya rasa penasaranku atas berbagai pertanyaan itu membuat kakiku mengikuti langkah si kakek. Ia terus mendorong roda sayurnya meski pelan, tanpa menyadari bahwa aku mengikutinya dari belakang. Hatiku benar-benar tak tega melihatnya bekerja keras seperti ini, kenapa dia tidak beristirahat saja di rumah, fikirku. Cukup jauh aku mengikuti si kakek, sampai tiba-tiba ia terhenti di sebuah trotoar dekat stopan jalan Laswi. Ia hamparkan sebuah karung, lalu bersiap untuk menyimpan berbagai macam sayur mayur yang ia bawa di atas rodanya.
     “Biar saya bantu, Ki.” Aku memberanikan diri untuk menyapanya ketika sudah berada di hadapannya. Beliau terlihat senang ketika aku menawarkan diri untuk membantunya.
     “Terima kasih, Nak.” Dengan hati-hati si Kakek itu menyodorkan sayur mayurnya dan memberikannya kepadaku untuk disimpan di atas karung yang sudah dihamparkan.
     Tidak tahu kenapa, mataku berkaca-kaca menahan air mata yang hendak keluar. Mungkin karena ketika aku melihat wajah si kakek yang penuh dengan keriput dan peluh aku membayangkan, “Bagaimana jika kakek ini adalah ayahku? Kakekku? Atau setidaknya anggota keluargaku? Apa aku siap menerimanya?”
     “Kamu mau kemana?” Setelah semua barang dagangan rapih di atas karung, si Kakek bertanya sambil menatapku dengan sorot mata yang seperti ingin memberitahuku sesuatu.
     “Saya mau kuliah, Ki.” Jawabku enteng. Aku kembali menyulut sebatang rokok, dan langsung duduk di pinggir si Kakek.
     “Sejak kapan kakek dagang sayur seperti ini?” Kembali aku bertanya. Seperti ada magnet di tubuh kakek ini, sampai aku lupa bahwa sebenarnya aku harus berangkat kuliah sekarang juga.
     Rokoknya yang tadi sempat mati ia sulut lagi dengan korek api miliknya. Dengan senyum-senyum kecil beliau menjawab, “Kakek berdagang sayur mayur dari tahun 1978”
     Spontan aku terperangah, lama juga si Kakek ini berjualan sayur. Dari sayur mayur yang ia bawa, aku bisa menebak berapa laba si kakek per/hari, tak akan lebih dari 10 atau 15 ribu rupiah. Orang semacam kakek ini apakah karena hanya itu keahliannya, atau karena menerima apa yang Tuhan tetapkan untuknya? Jujur, karena aku mahasiswa, aku sangat tidak berani kalau harus berjualan seperti si kakek ini, atau setiap hari hanya mendapatkan sepuluh sampai lima belas ribu saja. Orang-orang semacamku hanya diajarkan bagaimana mengeluarkan modal sekecil-kecilnya, dan mendapatkan untung sebesar-besarnya, tanpa harus terlalu capek bekerja. Dan orang-orang yang berpendidikan sepertiku lebih siap dan berani jika masa depannya bergelimang uang, harta melimpah, mobil mewah, istri sholehah, duduk-duduk di kantor, atau bekerja di tempat penuh gengsi. Sedangkan jika harus menjadi tukang sayur, tukang bakso, penarik becak, dagang telur dan berjualan bubur, jangankan melakukannya, membayangkannya pun aku tak sanggup.
      Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya hanya jadi pedagang kecil? Seperti itulah mentalku dan orang-orang yang memiliki ijazah SD sampai ijazah sarjana. Maka pantas, jika ribuan sarjana menganggur, karena mereka hanya ingin menjadi pekerja tetap, bukan menjadi orang yang tetap bekerja, apapun itu.
     “Apa kakek punya anak?” Tanyaku lagi kepada si kakek setelah termenung cukup lama.
     “Banyak, mereka hidup dengan keluarganya masing-masing. Dan hampir semua anak kakek adalah sarjana.” Jawabnya seraya menyeka keringat yang keluar dari pori-pori wajahnya.
     “Dan mereka membiarkan kakek bekerja seperti ini?” Ada rasa muak ketika aku menanyakan hal ini, kenapa anak-anaknya yang merupakan orang-orang berpindidikkan itu membiarkan ayahnya yang sudah tua renta ini masih juga berjualan. Kenapa mereka tidak mau mengurus seseorang yang sudah sangat berjasa menghidupi mereka? Memberikan mereka biaya pendidikan dari hasil menjual sayur yang tak seberapa? Bukan hanaya anak-anaknya yang ingin aku marahi, aku pun seakan ingin meneriaki Tuhan dan memaki-maki-Nya, ‘Kenapa Engkau biarkan hamba-Mu ini tetap bekerja? Aku tak tahan melihatnya. Dimana belas kasih-Mu?’
     “Bekerja seperti ini adalah kemauan kakek, bukan mereka.” Tukas si Kakek yang sepertinya melihat wajah kekesalanku.
     “Orang seumuran kakek harusnya menikmati masa tua di rumah bersama keluarga, jadi kenapa harus tetap bekerja dan bersusah payah seperti ini?” Ucapku karena kasihan.
     “Itu karena kakek ingin pantas disebut manusia.” Setelah berkata demikian, si kakek berdiri untuk melayani pembelinya yang pertama, sedangkan aku berlari menjauhi si Kakek untuk merenungkan sebuah ilmu yang tidak aku dapatkan di kampus.

Bandung 5-November-2011

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama