oleh: Rizky Sopiyandi
Ia memegang tanganku, memelukku, dan merenggut keperawananku. Tapi aku percaya, karena ia Abdulloh... Ia hamba Alloh.
Saya masih perawan, sebelum mengenalnya. Disekitar pergaulanku seringkali menuduhku seorang lesbian, mungkin karena aku yang selalu menjaga jarakku dengan seorang laki-laki. Aku hanya tak mengginkan seorang laki-laki yang mendekatiku dengan alasan nafsu saja. Aku benci. Aku jijik. Meski aku tak bisa dikatakan orang wanita baik-baik, dalam hatiku selalu mendambakan laki-laki yang baik.
Orang-orang berkata aku cantik. Kulitku putih, hidungku mancung, mataku bulat, dan beralis tebal. Rambutku ikal sebahu dan terurai, tubuhku pun bisa dikatakan tinggi semampai. Seperti seorang Pustun, sebuat wanita cantik ditimur tengah, dengan payudara dan bokong yang seringkali membuat orang memuji keindahan tubuhku. Tak hanya laki-laki, teman-teman wanitaku pun tak jarang memuji bahkan iri dengan tubuh yang aku punya.
Meski seperti itu, aku tak ingin mengenal laki-laki yang pada umumnya menilaiku sebatas fisik saja. Dengan itu aku tak pernah sakit hati oleh seorang laki-laki. Cukup jitu aku berpegang pada prinsip itu selama 23 tahun aku hidup.
Suatu hari aku pernah ditawar seorang penjabat tinggi dikota ku dengan seratus juta untuk bermalam dengannya disebuah resort mewan, tapi aku menolaknya. Aku tidak mau. Meski miskin, aku punya harga diri. Aku benar-benar tersinggung. Ku tampar orang yang menjadi suruhan penjabat itu untuk menawarku, dan dia memakiku. Mengatakan aku hanya jual mahal. Padahal aku benar-benar tak mau dibeli, dengan harga berapapun.
****
Namanya Abdulloh. Aku suka perilakunya yang lembut kepadaku, terlebih tutur katanya yang membuatku menggilai sosoknya. Ia menemaniku duduk di sebuah kantin. Memesan dua gelas teh panas dan dua mangko mie ayam; satu buatnya, satu buatku.
“Saya yang traktir,” katamu sambil tersenyum merekah.
Aku bahagia, ia mau duduk di sampingku. Mau berbicara denganku meski tatapan curiga mengarah ke arah kita berdua. Sebab namaku Dara. Dara, nama khas wanita. Nama kamu Abdulloh, Hamba Alloh. Dan kamu memanggil saya “Ra”. Saya tidak menolak. Saya justru senang. Sebab kamu teman laki-laki pertama saya. Kamu selalu sabar menemani saya meski mereka masih menatap curiga.
Nama kamu Abdulloh. Dan segalanya telah berubah menjadi kamu. Aku sangat mencintaimu. Tapi apa aku pantas untuk mencintai dan dicintai? Aku tidak pernah berharap lebih. Dengan kamu yang selalu menemaniku, aku sudah cukup senang. Sampai bulan kedua, kamu mendadak muncul di depan pintu kostanku. Padahal hujan sedang deras. Kamu basah kuyup. Belum sempat saya ambilkan handuk, kamu sudah memegang tangan saya. Dan kamu ungkapkan cinta. Kamu tahu, itu pertama kalinya tangan saya digenggam laki-laki. Tapi saya bahagia. Karena itu kamu. Terlebih kamu mengatakan cinta. Mimpi yang menjadi nyata. Sejak itu kita pacaran.
Satu bulan.
Dua bulan.
Kita tak pernah walau hanya untuk berpegangan tangan. Sebab aku tak mau macam-macam. Belum waktunya. Sebab saya tahu bahwa zinah adalah dosa besar. Sama saja dengan menyekutukan Tuhan. Toh, saya cukup bahagia dengan berpegangan tangan. Dan kamu tak menunjukan seperti halnya laki-laki lainnya, aku semakin menyayangimu, Abdulloh.
*****
Saya cantik, katamu.
Malam itu saya hendak membiarkan kamu mencium bibir saya. Kita berdua di kamar kost ku, sepulang kamu mengantarku pulang nonton film kegemaran kita. Kamu ingin pulang setelah mengantarku, tapi aku tak mengizinkan karena diluar hujan lebat.
Hujan membuat udara dingin malam itu. Wajahmu bersinar dengan air hujan yang kau basuh dengan handuk kecilku. Kita berbincang tentang diri kita, menikmati hujan dan secangkir kopi yang kubuat.
Nyatanya, kopi tak berhasil menghangatkan tubuhku. Aku mencoba menyandarkan tubuhku didada Abdulloh, ku cium halus pipinya yang bersih. Lalu, perlahan menuju ke daun telinganya, aku menggodanya. Aku menggodanya untuk berbuat lebih kepadaku. Ia yang sedang berbicara pun mendadak terdiam. Ia mengusap wajahku, begitu lebut, penuh kasih sayang. Sebari tak henti ia berkata aku cantik. Aku cantik. Dan aku cantik.
Kemudian ia mengusap rambutku. Jujur, susasana itu menghilangkan prinsipku terhadap laki-laki. Aku hanya mampu memejamkan mata. Sementara wajahmu mendekat ke arah wajahku. Aku takut, tapi hatiku berkata tegas ingin. Ingin sekali untuk kau mencium bibirku pertama kali, bahkan yang pertama untuk seorang laki-laki.
Tapi aku salah. Abdulloh tak menciumku. Ia hanya tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya untuk membisikan kepadaku sebuah pertanyaan. Ia bertanya apakah aku sudi untuk menjadi istrinya. Ibu dari anak-anaknya. Wanita pendamping dihidupnya.
Sontak hatiku bergetar, ingin sekali aku mendekapnya lebih erat dan menciumnya. Tapi semua itu aku urungkan, aku tak mau ia berpikiran lain tentangku. Ia begitu baik, bahkan dengan suasana seperti ini, ia masih menahan dirinya untuk tidak ‘menodai’ kesucianku. Mengindahkan godaanku yang memberikan signal padanya untuk berbuat lebih.
*****
Kita pun memutuskan untuk menikah.
Setelah kita berkenalan 6 bulan lamanya. Sejak itu kamu terus menghujaniku dengan kebahagiaan. Kamu begitu pintar untuk meyakinkanku bahwa aku tak bisa lagi melihat laki-laki lain selain kamu. Abdulloh, begitu hebat. Tak seperti laki-laki biasanya yang hanya berfokus kepada tubuhku, ia berbeda. Ia begitu sopan. Ia hanya melihat aku sebagai aku, bukan bungkusku. Ia Abdulloh, Hamba Alloh. Sejatinya seorang Hamba Alloh, ia begitu taat mengikuti aturan -Nya. Karena ia Abdulloh paling Abdulloh.
Kita telah 2 minggu menikah
Tapi entah kenapa sampai sekarang ia tak pernah menyentuhku. Tak pernah sekalipun dari 14 hari ini ia memenuhi kebutuhanku sebagai seorang istri. Ia mungkin memenuhi kebutuhan rumah tinggal mewah yang ia bangun khusus ditepian pantai di pulau Bali sana. Itu hadiahnya saat aku mengiyakan ajakannya untuk menikah. Ia tau aku menyukai pantai dan birunya lautan. Ia mungkin memenuhi kebutuhanku tentang perhiasan, baju, sepatu, bahkan mobil Mitsubishi Eclipse putih hadiah ulang tahunku. Tapi kenapa untuk yang satu itu, tak pernah.
Seringkali aku mempertanyakan hal itu, namun seketika pun ia marah. Alih-alih menjawab, ia langsung pergi menjauhiku. Pernah aku mencoba menggodanya disuatu malam. Ku pakai lingerie hitam yang sengaja aku beli untuk menggodanya. Tapi nyatanya aku kecewa, ia tidak sedikit pun terlihat terangsang. Meskipun, tak habis pikir apa kurangnya ke-seksi-an tubuhku. Nyatanya, hanya sakit yang kudapat. Lagi-lagi ia menolak untuk berhubungan suami-istri dengan alasan terlalu cape bekerja seharian, katanya.
***
Bulan ketiga kita menikah.
Dan masih tak berubah. Tak terlihat sedikit pun usahanya untuk berubah. Mungkinkah ia sesopan itu? tanyaku dalam hati. Sehingga ia tak mau sedikit pun menyentuhku meskipun aku istri sah nya. Benarkan seperti itu. Dan bukankah aku pernah berpikir bahwa aku tak mau hidup dengan seorang pria yang hanya mengingikan tubuhku saja. Tapi ini keterlaluan, aku ini istrinya. Aku berhak berhubungan seks dengannya.
Bulan keenam aku mengatakan ingin berpisah dengannya. Aku benar-benar tak kuat dengan semua keadaan ini. Aku butuh seks, aku butuh seorang laki-laki yang menjadi suamiku untuk menyetubuhiku. Menyentuhku, memelukku, menciumku saat kita hendak tidur. Ku akui, aku membutuhkan itu, dan Abdulloh tidak bisa memberikannya.
Ia pun mengiyakan permintaanku untuk bercerai, aku menangis. Sakit hati karena laki-laki untuk pertama kali.
Aku benar-benar ingin pergi meninggalkan dia, Abdulloh, suami yang dulu ku pikir ideal untukku. Aku terlalu sakit. Hatiku sudah terlalu hancur. Bukan lagi tentang ia yang tak menyentuhku selama 6 bulan kita berumah tangga. Tapi, karena itu. Karena ia mengaku jika ia adalah seorang yang mempunyai penyimpangan seks, Homo Seksual. Dan ia menikahiku hanya untuk menyembunyikan ‘identitasnya’, yang sebelumnya ia tau jika aku tak pernah berdekatan dengan laki-laki mana pun. Bahkan, ia pun mengira aku seorang lesbian, punya penyimpangan seks seperti halnya ia. Karena itulah ia menikahiku, katanya seperti tak ada dosa.
Aku tak percaya, tapi nyatanya ini menimpaku. Gilanya, aku berpikir Tuhan mengabulkan do’aku tentang ke-tidakinginan-ku mengenal seorang laki-laki yang hanya menginginkan kecantikanku, tubuhku, atau fisikku.
Aku kecewa.
Padahal nama kamu Abdulloh. Orang yang terpuji. Padahal kamu Hamba Alloh, namamu begitu Islami.
Abdulloh menyetubuhiku tanpa menyentuhku. Ia memegang tanganku, dan mengarahkanku kearah kehancuran. Ia memelukku, dan melelapkanku dengan tipu dayanya. Bahkan, ia merusak keperawananku, merusak kehormatanku untuk tidak sakit hati oleh laki-laki.
****
Dan kini aku sudah tak perawan lagi.
Hampir tiap hari aku melakukan hubungan seks. Tidak hanya dengan laki-laki, pun aku melakukannya dengan perempuan. Mungkin anda berpikir saya pelacur, nyatanya saya bukan. Saya seperti halnya Abdulloh, yang setiap harinya berburu laki-laki untuk ia setubuhi. Tapi, ia bukan pelacur. Tak ada seorang pun mengatakan ia pelacur. Bahkan, tak sedikit orang memuji kepiawaiannya menaklukan wanita, termasuk saat ia merenggut keperawananku untuk tidak sakit hari oleh laki-laki.
Semua terjadi karena aku percaya. Karena ia Abdulloh, hamba Alloh.
Tidakkah kamu mengerti?