Oleh: Agnia Ilma Khaerani
“Apa kau melihat kemasannya?”
‘ entah lah, aku hanya sedang menyelidiki gerak gerik nya’,
‘ kau yakin dia tlah mencurinya?’
‘ Aku hanya melihat dari perubahan sikap nya pada ku’
‘ Tapi tenang lah, dia tak mencuri sepenuh nya dari ku, dia menyisakan beberapa untuk aku hidup .
----
Di sini gelap, dingin dan sepi. Aku bersamanya sedang menjaga sebuah pos bayangan, tapi suasana seperti itu pun tak mengurungkan niat sahabat ku untuk bercerita banyak kepada ku, dan di saat dia hampir selesai menceritakan bagaimana datang nya venus di pagi hari. Aku pun mulai bertanya, dan membayang kan. Kalau dia bisa menceritakan bagaimana datangnya venus di pagi hari, mungkin dia juga bisa sedikit bercerita tentang seorang perempuan yang ilusi nya tercuri.
Entah lah, aku masih membayangkan cerita itu yang terus menerus ada dalam pikiran ku, aku selalu bertanya, apa yang terjadi pada perempuan itu, apa yang di lakukan perempuan itu? . Apa dia benar-benar membiarkan ilusinya tercuri penuh sehingga dia mati?
----
Saat gerimis tiba, aku selalu terhanyut oleh suaranya yang selalu menenangkan hati ku, saat itu aku sedang di temani oleh sahabat ku Zahra yang jauh-jauh datang dari kepulauan seribu untuk menemui ku, sekedar untuk mengobati rasa rindunya pada ku.
Sore itu, saat gerimis tiba, aku bertanya pada Zahra tentang pikiran ku saat berada di pos bayangan kemarin ,sebuah ilusi ku yang tercuri.
“ra, sepertinya ilusi ku sedikit tercuri oleh seorang ilusionis”, sambil menyicipi kue dan the yang di sediakan ibu. Spontan aku berkata itu pada Zahra yang saat itu sedang asyik melihat gerismis, yah, kita mempunyai kesukaan yang sama, saat gerimis tiba.
Lalu Zahra pun menatap ku dan bertanya “ ilusionis itu jadi ilusionis karna mencuri ilusi orang, atau ilusinya may?"
“bukan, karna dia memang seorang Ilusionis”
‘emh, tapi bukannya kamu mesti senang? kalo ilusi mu habis dicuri dia, berarti kamu ga punya ilusi lagi, berarti kamu jadi realis.”
“hmh,,apa sebelumnya, kamu prnah menemukan yang tercuri sepenuhnya ilusi itu? apa yang terjadi pada prmpuan itu?”
“sekarat. Ilusi itu energi buat bertahan hidup, kamu boleh diberikan sedikit biar orang lain hidup sama kita, tapi kalo habis. Dia hidup, kita mati.”
“mati?? apa senang nya?? saat kamu bilang, ‘aku mesti senang’? kalo ilusi ku habis dicuri dia.”
“mati itu bisa bikin bahagia, May. Ada orang yang pengen cepat mati karena dia tau ada apa di balik mati itu dan dia siap, ada juga orang yang takut mati karena tau ada apa di balik mati itu dan dia ga siap. Kamu orang yang siap atau engga? kamu siap mati ilusi dan beranjak realitis atau engga?
Itu jawabannya relatif, karena kamu sendiri may yang mutusin
bukan aku, bukan lelaki itu.”
----
Saat itu aku berfikir, dan gerimis pun masih jatuh di depan ku dengan tenang nya, Zahra pun masih asyik dengan gerimisnya saat itu, sambil menjawab pertanyaan- pertanyaan ku. Dia memang jauh lebih rasional ketimbang aku yang apektif, itu sebabnya dia bisa lebih mudah menjawab hal-hal mengenai perasaan, karna dia tak sedikit menanggapinya dengan logika.
“emh, realistis menurut kamu pada seorang perempuan itu, seperti apa?”
“seperti ga ngomong sama ikan, seperti ga nutup selimut sampe ke kepala waktu sedih, seperti menerima kenyataan kalo sayur itu mesti dimakan, menerima kenyataan kalo vetsin itu ga boleh dipake banyak-banyak. dan jujur sama orang sekitar supaya ketika sakit, kesakitan itu ga semakin lebar, panjang dan dalam.”
Zahra memang realistis banget, yah, aku juga realistis sebenernya. Tapi yah itu, kadar ke normalan ku sepertinya sudah terkontaminasi dengan pikiran tentang nya, dulu aku cuek banget deh perasaan, ga pernah kepikiran sampe kesini. Tapi yah ini lah hidup, penuh warna dan peristiwa luar biasa yang ga pernah kita duga.
Menyesali? Yah tidak sama-sekali, tapi aku mensyukuri bahkan menikmati rasa ini, meskipun semuanya itu masih semu, penuh dengan ketidak pastian, tapi tak apa lah. Aku tetap bersyukur masih dapat selalu tersenyum untuk membahagiakan orang-orang yang lebih layak aku sayangi.
Akupun kembali bertanya
“perempuan yang seperti itu banyak ga sih ra?”
“yang seperti yang mana?”
“yang tercuri ilusinya sampai habis”
“banyak, May. tapi yang membuat perempuan baik dan buruk bukan soal ilusinya tercuri habis atau engga, tapi bagaimana perempuan itu menyikapinya. kalo ilusinya masih ada, pada siapa dia berikan ilusi itu. kalo ilusinya habis tercuri, bagaimana selanjutnya dia hidup dan menikmati sisanya? itu tergantung orangnya, sangat subjektif”
“Menurut kamu ra,,mana yang lebih baik di jalani? etrcuri semuanya? atau bahkan tidak menyisakannya sedikit pun?”
Zahra pun tiba-tiba tersenyum manis dan menatap ku.
“tercuri sama ilusionis yang kita kenal betul bahwa dia baik terus berbagi ilusi secukupnya, sampai berdua mereka hidup, kemudian mati.”
Dan aku pun terdiam. Sebari mengambil dan meminum teh yang tersedia.